Sabtu, 06 April 2013

Menikah: “itu bisnis?”


Oleh, Abdul Karim Munthe[*]

Kata “perkawinan” diawali dengan per dan diakhiri an, sering diindektikkan negatif oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia, dan lebih memilih istilah pernikahan. Padahal menurut penulis antara kata kawin dan nikah sama saja, sebagaimana dijelaskan dalam KBBI:
Nikah: Ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama: Sedangkan Kawin membentuk keluarga dng lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah.

Perkawinan tanpa harus dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw pun, secara lahiriah setiap orang akan melakukan perkawinan. Sebab, perkawinan selain untuk tujuan kebahagian dunia dan akhirat, dia juga adalah bagian dari kebutuhan biologis setiap orang yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Oleh karenanya pula, pernikahan dikategorikan sebagai ibadah, walaupun demikian, perintah menikah bukanlah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian Nabi saw hanya menganjurkan kepada kita untuk menikah.
Walaupun demikian, bukan berarti semua orang ingin menikah, tanpa terkecuali. Banyak juga yang kerena motif tertentu tidak menikah, karena pendidikan, ibadah, bahkan ada juga yang karena nasipnya yang tidak laku. Dari contoh tersebut, seseorang yang tidak menikah dapat dikatogorikan ketiga (3) golongan, pertama: karena pilihan; kedua: karena takdir/cultural, dan ketiga: karena struktural.
Dengan menikah atau kawin dikatakan banyak mendapatkan keuntungan, sebagaimana dijelaskan dalam tujuan dari perkawinan itu sendiri, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Jika kita lihat semua tujuan ini ditujukan untuk kebahagian selama di dunia, yang muaranya nanti akan berakhir di akhirat, oleh karenanya setiap orang yang menikah, pada umumnya akan mengikrarkan diri akan menjadi pasangan suami-istri dunia dan akhirat. Di samping itu menikah adalah sebagian dari agama. Keuntungan lain juga disebutkan dalam Alquran bahwa perempuan akan mendatangkan harta.
Perlu digaris bawahi di sini terkait harta. Memang dalam Alquran dijelaskan bahwa perempuan akan mendatangkan harta. Penulis menilai bahwa ayat ini ditujukan untuk memotivasi bagi mereka yang ingin menikah, akan tetapi takut karena tidak memiliki uang/modal.
Harta sering kali menjadi masalah dalam setiap keluarga. Hal ini perlu diantisipasi jikalau-kalau suatu saat nanti ada permasalahan, walaupun setiap pasangan yang menikah pasti tidak menginginkan permasalahan itu datang dalam pernikahan mereka.
Harta dalam perkawinan menjadi penting untuk kita diskusikan, sebab, masih banyak dari masyarakat yang tidak paham akan permasalahan ini. Setelah penulis melakukan penelitian secara sederhana terkait dengan harta yang ada hubungannya dalam perkawinan, dapat ditemukan dalam beberapa hal.
Pertama, ketika awal akad pernikahan, yaitu mahar. Kedua, paska akad pernikahan, selama perniahan sedikitnya 2 hal yang berkaitan dengan harta yang harus dipahami oleh setiap orang yang telah menikah maupun yang akan menikah. Diantaranya, sebagaimana umumnya telah kita ketahui adalah harta nafkah. Dalam peraturan per-uu-an yang berlaku di Indonesia, nafkah adalah kewajiban sorang suami, baik terhadap istri dan anak-anaknya, hal ini tercantum dalam pasal 34 UU No. 1/1974. Kedua, selama dalam ikatan perkawinan, harta yang dihasilkan dari suami-istri adalah harta miliki bersama (lazim disebut harta bersama). Dengan demikian setiap apapun yang dimiliki paska akad nikah adalah menjadi milik bersama, oleh karenanya apabila terjadi putusnya perakwinan akibat meninggal, permohonan cerai ataupun akibat gugat cerai, harus dibagi dua. Perlu diketahui bahwa Harta bersama tidak akan ada, jikalau sebelum pernikahan ada perjanjian kawin antara suami dan istri.
Terakhir ketika perkawinan berakhir. Perkawinan berakhir dapat diklasifikasikan kedalam tiga hal, karena meninggal, cerai talak, dan gugat cerai. Cerai karena meninggal, akan muncul harta waris dan/atau wasiat, berakhir karena cerai talak atau gugat cerai akibat hukumnya terhadap harta adalah biasa disebut dengan iddah dan/atau harta bersama.
Dari pejelasan di atas dapat kita pahami bahwa perkawinan bukan hanya berakibat pada akan terbentuknya keluarga, tapi juga berpengaruh pada kehidupan ekonomi, khususnya ekonomi keluarga.

Terimakasih atas perhatiannya!
Moga tepat waktu dan tepat pada waktunya dapat jodoh.


[*] Makalah disampaikan pada diskusi yang dilakukan AntaBena. Penulis adalah salah seorang pendiri Asosiasi Masyarakat Peduli Perkawinan (AMPP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Silakan beri komentar!