Achmad
Muhibbin Zuhri [2]
Relavansi dan
Fokus
Sebagai negeri yang
mayoritas warganya muslim ini, diskursus hubungan Islam dan Nasionalisme telah
berlangsung sejak didirikannya Republik Indonesia. Diskursus ini mulai
mengemuka dalam fenomena perumusan dasar negara. Misalnya bisa dibaca dalam perdebatan-perdebatan Soekarno di satu pihak, Muhammad Natsir, Wahid
Hasyim, Sukiman, Mohammad Roem, Agus Salim dan yang lainnya di pihak lain. Yang
satu ingin Islam sebagai dasar negara, yang lain menginginkan Pancasila; yang
satu menginginkan agama sebagai dasar kebangsaan, yang lain ingin kesatuan
bangsa.
Sebagian umat Islam percaya bahwa nasionalisme tidak
bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan bagian dari Islam itu sendiri. Seperti
pendapat Hassan al-Banna, mereka berpendapat bahwa menjadi seorang muslim yang
baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme; Islam tidak
bertentangan dengan Nasionalisme dan bahkan keduanya bersenyawa. Fakta itulah
yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo
dulu. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangunan nation-state
nya merupakan bentuk final yang harus tetap dipertahankan, karena merupakan
hasil jihad dan ijtihad umat Islam dalam proses sejarah yang
panjang.
Diskursus Islam-Nasionalisme
akhir-akhir ini menguat kembali seiring dengan terbukanya kran demokrasi dengan
kebebasan mengekspresikan gagasan di kalangan warga negara. Muncullah suatu
genre muslim transnasional yang merasa tidak perlu disatukan oleh nation,
tidak lagi mau terbatasi kantor imigrasi dan paspor. Menurut mereka, persatuan mutlak dibangun berdasar kesamaan akidah.
Mereka ini adalah sekelompok muslim yang konsisten meletakkan agama di atas
bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilafah universal yang lintas
negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting bahkan tercela, karena
merupakan produk barat dan hanya akan memecah belah umat Islam.
Selain karena alasan ideologis, resistensi terhadap
nasionalisme juga disebabkan oleh reduksi terhadap makna nasionalisme itu
sendiri sepanjang Orde baru. Pada masa Orba, nasionalisme tampaknya ditafsirkan
top-down, sehingga masyarakat tidak menganggapnya sebagai ide kreatif
dari bawah. Lalu, nasionalisme dianggap paket rezim status quo yang
bertindak totaliter. Pancasila, kesamaan teritori, bahasa, etnik dan lain
sebagainya yang sebenarnya merupakan faktor simbolik perekat nasionalisme
(Daniel Dakhidae: 2002), terkesan lebih ditekankan daripada faktor substantif
seperti keadilan dan kepercayaan. Kenyataan itu turut mendorong warga dan sebagian
umat Islam untuk –paling tidak mempertanyakan ulang signifikansi nasionalisme dan
relasinya dengan Islam.
Bagaimana sebenarnya relasi Islam dan Nasionalisme
serta implikasinya dalam kehidupan bernegara, menjadi menarik untuk kembali
diperbincangkan dalam konteks membuka ruang dialog untuk mengeliminir
potensi-potensi gerakan radikal yang mengusung gagasan dan simbol-simbol agama
(Islam).
Islam
: Ajaran dan Sejarah
Islam mengusung misi kesejahteraan bagi alam
semesta (rahmatan li al-`alamin), dimana manusia sebagai khalifah
ditugasi untuk mewujudkannya. Kemaslahatan dalam hal ini menjadi sasaran (maqashid)
dari Syari’at Islam itu sendiri. Ia meliputi seluruh aspek kehidupan umat
manusia sebagai individu, dan dalam hubungannya dengan manusia dan Sang
Pencipta, kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat
universal. Sifat universalitasnya itulah yang memungkinkan Islam berdialektika
dengan historisitas yang serba berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan
umat manusia. Dalam kerangka ini, di dalam sumber-sumber ajaran Islam terdapat
petunjuk-petunjuk tertentu yang bersifat praktis dan hanya memerlukan sikap ta’abbudi.
Tetapi juga terdapat medan ijtihad terkait dengan dinamika
kemaslahatan manusia, termasuk dalam soal bagaimana mereka harus membangun
sistem sosial, politik dan bernegara.
Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran
Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural
yang berbeda-beda. Karena substansi
Islam sendiri adalah ajaran yang relevan dan kompatibel untuk setiap
periodisasi sejarah dan kawasan manapun (shalih li kulli zaman wa makan).Wahyu
ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan secara
khusus kepada orang-orang mukmin untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi
ajaran Islam berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan (‘ashabiyyah)
dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru. Seperti halnya agama semitik lainnya, kecuali Yahudi, Islam dapat masuk
kategori agama translokal atau transnasional.
Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan
keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan
berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain,
seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam.
Secara doktrin, orang Islam memang tidak
mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, negara, bendera, dan macam-macam
simbol lainnya. Sebagaimana halnya sejarah Islam juga mengenal sistem khilafah
universal. Tetapi sebetulnya itu tidak lain merupakan realitas historis yang
merupakan konsekuensi saja dari penaklukan demi penaklukan yang dilakukan
penguasa-penguasa Islam saat itu, dan proses sejarah menyebut mereka ini dengan
sebutan khalifah.
Perubahan terjadi ketika abad ke-18 dan ke-19
mulai terjadi kompartementalisasi wilayah-wilayah di dunia. Dalam bentuk yang
modern, juga terjadi balkanisasi, seperti terpecahnya negara-negara kecil di
Semenanjung Balkan. Memang dasar-dasarnya bisa nation atau kesatuan
bangsa, dan bisa juga agama. Tapi kenyataan historis mengantarkan umat Islam ke
dalam alam modern yang berbasis nation-state. Gelora nasionalisme dan
lain sebagainya itu, selalu saja diletakkan dalam konteks bagaimana
memerdekakan diri dari penjajahan dan penguasaan pihak asing. Oleh karena itu, banyak
sejarawan menulis tentang fajar atau bangkitnya nasionalisme di awal abad
ke-20, baik di Asia, Afrika, dan tempat-tempat lainnya. Sebab, memang pada awal
abad ke-20 itulah kekuatan-kekuatan dan belenggu-belenggu kolonial mulai
terlepas.
Jadi, dengan membaca secara cermat realitas
sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada term nasionalisme dimaksud
mengandung gagasan kecintaan terhadap tanah air, mempererat persaudaraan, bela
negara untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Nasionalisme dalam makna
demikian itu, tentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, bahkan
merupakan bagian dari Islam karena mencerminkan nilai-nilai universalnya.
Nasionalisme yang ditolak oleh Islam, adalah ta’ashshub atau sikap
fanatisme dan kecintaan berlebihan terhadap suku atau bangsa sehingga
menimbulkan mudlarrat (bahaya) bagi pihak lain di luarnya. Nasionalisme
semacam ini sepadan dengan chauvinisme, atau yang dalam istilah Syafi’i
Ma’arif diebut “Nasionalisme Ekspansif”, seperti paham yang dianut oleh Hittler
dan Israel. Tentu saja hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun
“Nasionalisme Formatif” yang mengandaikan kecintaan terhadap tanah air (hubb
al-wathan), pembebasan (hurriyyah), dan persaudaraan (ukhuwwah)
justeru merupakan bagian dari ajaran universal Islam itu sendiri.
Dengan demikian, perbincangan menganai hubungan
antara Islam dengan nasionalisme tidak harus diletakkan dalam posisi diametral.
Menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang
anti-nasionalisme. Fakta itulah yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan
kemerdekaan Indonesia tempo dulu.
Khilafah
: Paham Politik atau Doktrin Teologis?
Kalau batasan-batasan khilafah itu
diletakkan dalam konteks doktrin agama saja, tentu tidak menjadi persoalan. Akan
tetapi ketika batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam kerangka nation-state
lain yang lebih besar, maka akan menimbulkan persoalan baru, karena pergeseran
konteks dari doktrin dan ajaran ke politik. Dalam kerangka baru itu, nation-nya khilafah akan menjadi
nation Islam, sedangkan state-nya adalah wilayah mana saja yang
bisa dikuasai umat Islam atau semacam macro nation-state.
Persoalan politik adalah domain agama yang bersifat dhanni, dan
oleh karena itu tidak terkait dengan tebal dan tipisnya keimanan seorang
muslim. Khilafah adalah paham politik dan bukan doktrin teologis. Setiap
kelompok umat Islam bisa saja berbeda dalam soal ini dan boleh saja
mengembangkan gagasan itu. Jadi, kalau sebagian komunitas muslim berusaha keras
menekankan pentingnya memperjuangkan Pan-Islamic State atau Pan-Caliphate
State sebagai sebuah gagasan, boleh saja, kalau bisa. Tetapi sebenarnya hal
itu merupakan romantisme masa lalu saja. Karena meskipun secara historis gagasan
itu memang pernah eksis di dunia Islam, tapi di zaman modern, nasionalisme
merupakan realitas pilihan umat Islam yang sudah melembaga sedemikian rupa.
Sebagai persoalan politik, seperti halnya
sistem khilafah, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state)
juga merupakan hasil dialektika Islam dengan realitas historis. Maka ia juga
bersifat dhanni. Dengan cara pandang seperti ini, mestinya tidak relevan
untuk mempertentangkan antara sistem khilafah dengan nation-state.
Keduanya seharusnya diletakkan sebagai pilihan. Pertimbangan kemaslahatan-lah
yang akhirnya membawa umat Islam di Indonesia, khususnya dan di dunia Islam
lainnya telah menjatuhkan pilihannya pada nation-state di alam modern
ini. Titik krusialnya ialah ketika sementara orang yang bersikap puritan
terhadap paham khilafah yang diyakininya sebagai bagian tak terpisahkan
dari keimanan seorang muslim. Selanjutnya menganggap sistem lainnya sebagai
penyimpangan dari Islam. Maka, kemudian ekspresi yang ditimbulkan dari sikap
itu adalah radikalisme dengan simbol-simbol agama.
Memang terjadi perbedaan pandangan di
kalangan umat Islam dalam menyikapi pranata sosial dan politik yang melingkupi
kehidupan umat Islam, terutama yang tidak secara genuine berasal dari
Islam. Pertama, ialah mereka yang berpandangan bahwa soal politik dipisahkan
dan bukan merupakan bagian dari agama dan oleh karenanya mereka disebut
kalangan sekular yang menarik garis demarkasi antara entitas agama dan negara; kedua,
ialah mereka yang berpandangan moderat dan menekankan perlunya dilakukan
kontekstualisasi wahyu dengan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah)
sebagai sasaran (maqashid) syari`at; Ketiga, ialah sebagian
lainnya yang berpendirian tekstualis dengan cara mengikuti apa yang termaktub
dalam dhahir nass serta mengembalikan persoalan pada tradisi muslim
generasi awal. Kelompok kedua ini juga berpandangan bahwa soal bentuk negara
adalah termasuk bagian fundamental dari Islam yang harus didasarkan pada
petunjuk nass atau tradisi generasi salaf; menganggap bahwa nasionalisme
adalah pengertian dari kata “ta’ashshub” yang dilarang, sesuai hadits
riwayat Abu Dawud[3],
dan ; harus ditolak karena berasal dari
Barat. Selain itu, karena merupakan bagian fundamental dari agama, maka
pandangan ini harus diperjuangkan dengan cara jihad. Cara pandang
seperti ini dapat diidentifikasi sebagai corak berfikir salafis dan
fundamentalis dalam Islam.
Islam
dan Nasionalisme Indonesia
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan
Indonesia. Sumber daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini
secara potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim.
Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran keringat,
air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan
ke-Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga mencatat penolakan dan
penentangan umat Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda ekonomi,
politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah
dan NU terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan terwujudnya
kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Demikian halnya para
tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun mereka kelihatan berbeda-beda
penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme Indonesia, tak diragukan lagi
kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara bangsa
Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Fakta-fakta tersebut
cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru dari rahim
Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan
Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat jika dibandingkan dengan
organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo yang berbasis
kepentingan priyayi Jawa.
Jika kehidupan bernegara
ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka tentulah berkenaan
dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus mengambil peran
strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural yang kuat.
Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu menunjukkan
kekhawatiran berlebihan terhadap subordinasi Islam oleh negara, juga merupakan
ekspresi dari ketidakberdayaan mengambil peran-peran kreatif dan strategis
dalam merealisasikan keIslamann dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan mempertimbangkan
keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme, maka perjuangan
mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat dapat dilakukan
melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural melalui sarana politik, sebagai
bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara
Islam atau juga sistem khilafah yang menerapkan syariah atau negara
sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai
universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah,
dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam dan Nasionalisme
Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna. Keduanya
tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik. Nasionalisme selalu
meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat
melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat
Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena
persenyawaannya dalam negara bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk
menonjolkan identitas atau simbol-simbol keIslaman dalam kerangka perjuangan
politik kebangsaan hanya merupakan cerminan kelemahan umat Islam sendiri.
Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi ini, penekanan
berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini
tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik
umat Islam menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh
faktor-faktor perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud
merupakan nilai-nilai universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga
negara, seperti keadilan, kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.
Itulah sebabnya Al
mawardi, dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyyah mempersyaratkan keadilan
bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam,
dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab
al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah
bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan
ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu.
Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan
mereka.
Wallahu A’lam.
[1]
Disiapkan untuk Acara Seminar Nasional “Relasi Islam
Dengan Nasionalisme Dalam Menangkal Radikalisme Dan Terorisme” yang
diselenggarakan oleh Badko HMI Jawa Timur, di Surabaya, tanggal 22 Nopember
2011.
[2]
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ;
Direktur Museum Nahdlatul Ulama
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَكِّيِّ يَعْنِي ابْنَ
أَبِي لَبِيبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ
وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ
“Bukanlah golongan
kami orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah. Bukan golongan kami orang yang
berperang atas dasar ashabiyah, dan bukan golongan kami orang yang mati karena
membela ‘ashabiyah (HR. Abu Dawud)
Zico Alviandri Said,
Cukup komprehensif untuk menjelaskan pandangan Islam dan nasionalisme :)
Posted on 16 Januari 2014 pukul 19.01
Unknown Said,
Sangat bermanfaat untuk membuka wawasan tentang nasionalisme apakah sesuai yang diinginkan oleh ajaran dasar Islam ataukah bertentangan!
Posted on 5 Juli 2015 pukul 11.26
istiyanto mr Said,
Point terbesar adalah beragama dalam kerangka negara kesatuan dengan tujuan berkeadilan sosial bagi seluruh warga negara.
Tulisan yang bermanfaat..
Posted on 5 Mei 2017 pukul 03.46