Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail

Asuransi Menurut Hukum Islam

03.17 Diposting oleh abdul karim munhte

Asuransi Konvensional: Macam-macam dan Hukumnya
A.    Pendahuluan
Sebagai umat yang patuh pada agama pasti akan menjalankan seluruh praktek sosialnya senafas dengan apa yang ditentukan oleh ajaran agama yang dia anut. Begitu juga dengan kaum muslim yang menjalankan agamanya kedalam seluruh aspek kehidupan individu maupun sosial. Dalam hal sosial islam mengajarkan beberapa ketentuan dalam berbisnis atau bertransaksi, sebagaimana dalam hal asuransi. Dan muncul awalnya adalah di Negara yang tidak menggunakan kerangkan pemikiran islam.
Oleh karena itu pemakalah akan membahas apa itu asuransi? Dan bagaimana sebenarnya pandangan hukum para ulama terhadap asuransi konvensional.

B.     Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “pertanggungan”. Jhon M. Echols dan Hasan Shadily[1] mengatakan bahwa Insurance bermakna asuransi sebagaimana pada umumnya dan bisa juga bermakna jaminan, sebagaimana kalimat It’s good i. to prepare for any emergency (adalah jaminan yang baik untuk siap sedia terhadap setiap keadaan darurat. Sedangkan dalam bahasa Belanda asuransi disebut sebagai verzekering (pertanggungan).[2]
Dalam term fikih asuransi disebut dengan beberapa term yaitu, ta’mîn[3] Takaful atau Tadhamun. MUI mendefenisikan asuransi dengan “usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. mendefenisikan asuransi suatu kontrak prestasi dari pertanggungan ini, pihak yang ditanggung itu diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Uang tersebut akan tetap menjadi miliki pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi.[4]
Dalam KUHD atau Wetboek van Koophandel pasal 246 menjelaskan bahwa, Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehya krn suatu kejadian yang tidak pasti.
Dan dalam UU No. 2 tahun 1992 pasal 1 menjelaskan, Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian tertanggng karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukup kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang dadasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari degfenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam asuransi ada tiga unsur, yaitu:
Unsur pertama, yaitu terjamin (verzekerde) berjanji membayar uang premi kepada pihak penjamin (verzekeraar), sekaligus atau dengan berangsur-angsur;
Unsur kedua, pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang kepda pihak terjamin, sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsure ketiga;
Unsur ketiga, seuatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi;
C.    Macam-macam Asuransi
Pembagian asuransi secara umum dibagi kepada dua jenis asuransi yaitu, (a) asuransi ganti kerugian (schade-verzekering) dan asuransi sejumlah uang (sommen-verzekering); (b) asuransi secara premi (premi-verzekering) dan asuransi saling menjaga (onderlinge-verzekering).[5]
a.       Asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang. Perbedaan keduanya adalah dalam asuransi ganti kerugian si penjamin berjanji akan mengganti kerugian tertentu yang diderita oleh si terjamin. Dan asuransi sujumlah uang sipenjamin berjanji akan membayar sejumlah uang yang jumlahnya sudah disepakati sebelumnya tanpa disandarkan pada suatu kerugian tertentu.
Masuk dalam golongan asuransi ganti kerugian adalah, 1) asuransi kebakaran; 2) asuransi laut; 3) asuransi pengangkutan di darat; dan yang termasuk kedalam asuransi sejumlah uang adalah 1) asuransi Jiwa; dan, 2) asuransi kecelakaan;[6] sebagaimana yang tercamtum dalam pasal 247 UU Perniagaan.
b.      Asuransi secara premi dan asuransi saling menjamin.
D.    Pandangan Ulama terhadap Asuransi
Asuransi adalah sistem ekonomi yang muncul pada abad ke-13 ada juga yang mengatakan 14 M di Italy. Sebagai sebuah transaksi ekonomi yang cukup baru, oleh karena itu tidak mendapat perhatian ulama pada awalnya, namun setelah merambah dan menjadi tren ulamapun mulai membahas permasalahan ini. Secara umum bahwa sebuah transaksi diperbolehkan selama tidak ada dalil atau tanda-tanda (qorînah) yang merubah kebolehannya, kaidah ini seiring disebut sebagai al-ashlu fil mu’âmalat al-ibâhah.
Karena kelahiran asuransi tidak dikalangan islam yaitu di Barat, tepatnya Italy maka menjadi penting ketika system asuransi tersebut diadopsi atau dilakukan oleh umat muslim. Oleh karena itu perhatian tersebut tidak hanya muncul dikalangan ulama arab akan tetapi tanah air juga. Ada tujuh hal yang mendapat merubah kedudukan transaksi menjadi haram, yaitu: 1) di dalamnya terdapat riba; 2) di dalamnya terdapat unsur gharar;[7] 3) di dalamnya terdapat unsur kezhaliman; 4) di dalamnya terdapat maisir (judi); 5) yang diperjual belikan (transaksikan) adalah barang yang diharamkan; 6) maksiat; 7) di dalamnya ada risywah;[8]
Beberapa unsur diatas menjadi perhatian penting dalam menetapkan hukum terhadap sebuah transaksi yang dilakukan, termasuk dalam hal ini adalah asuransi. Oleh karena itu, sikap ulama dalam memandang kedudukan asuransi terbagi kepada tiga pandangan, yaitu: b) yang menolak (mengharamkan) asuransi; b) kelompok yang membolehkan asuransi; dan c) yang membolehkan sebagian dan yang mengharamkan yang lain, dengan masing-masing alasan yang mereka kemukakan.
1.      Ulama yang menolak
Kelompok pertama yang menolak atau mengharamkan asuransi dengan segala bentuknya adalah, Sayyid Sâbiq, Abdullah Al-Qolqi (Mufti Yordania), Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i (mufti mesir), Dr. Husain Hamid Hisan. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Dr. Muhammad Muslehuddin.[9] Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.       Asuransi mengandung unsur perjudian,
b.      Asuransi mengandung unsur ketidak pastian,
c.       Asuransi mengandung unsur riba,
d.      Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan (pemerasan), karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi,
e.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang secara tidak tunai (akad sharf),
f.       Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir tuhan.[10]
Prof. Marjuki Zuhdi menjelaskan bahwa Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya “Asuransi Koperatif” yang tegak di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful.[11] Disamping itu PP Persis dan Muhammadiah di Malang juga mengaharamkan praktek asuransi konvensional.
2.      Ulama yang membolehkan
Kelompok kedua, yaitu yang membolehkan asuransi. Diantara mereka yang membolehkan itu adalah, Abdul Wahhab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa,  Muhammad Yusuf Musa, dan Abdurrahman Isa. Alasan yang mereka kemukakan ketika menfatwakan asuransi diperbolehkan adalah,
a.       Tidak ada nash (Alquran dan sunah) yang mengharamkan asuransi,
b.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak,
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak,
d.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan,
e.       Asuransi termasuk akad mudhorobah,
f.       Asuransi termasuk koperasi,
g.      Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti taspen atau dapat dikatakan sebagai syirkat ta’awuniyyat, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.[12]
3.      Ulama yang memilah-milah
Golongan yang ketiga adalah yang membolehkan sebagian asuransi dan tidak membolehkan yang lain. Asuransi yang diperbolehkan adalah asuransi sosial, karena jenis asuransi sosial tidak mengandung usnur-unsur yang dilarang. Sedangkan yang tidak diperbolehkan adalah asuransi yang semata-mata bersifat kemersial, karena didalamnya ada unsur yang tidak diperbolehkan. Pandangan ini dikemukan oleh Muhammad Abu Zahrah.[13]
E.     Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan,
a.       Apabila asuransi yang dilakukan adalah dengan cara konvensional maka hal tersebut dilarang karena banyaknya mudhorat yang akan dihasilkan dari asuransi tersebut,
b.      Asuransi konvensional diperbolehkan apabila keadaan yang mendesak dan tidak ditemukan lagi asuransi yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman,
c.       Asuransi adalah perbuatan yang baik apabila diniatkan untuk sosial bukan untuk komersial.


Daftar Pustaka
Ali, AM. Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Suatu Tinjauan Analisi Historis, Teoritis dan Praktis), Jakarta: Prenada Media, 2004
al-Bugha, Musthafa Dib, Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam), Jakarta: Al-hikmah, 2010. Penerjemah, Fakhri Ghafur. Judul asli: Fiqh al-Mu’awadhah.   
Echols, Jhon M. dan Shadly, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005
Iswanto, Kuat, Asuransi Syari’ah (Tinjauan Asas-asas Hukum Islam), (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cet. 1
Muslehuddin, Muhammad, Asuransi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Pernerjemah, Wardana, judul asli, Insurance in Islam
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1994
Rahman, Nandi, Asuransi Dalam Pndangan Islam, (Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang  Pedoman Umum Asuransi Syari’ah


[1] Jhon M. Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 362
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1994), h. 1
[3] Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam), (Jakarta: Al-hikmah, 2010), h. 83. Penerjemah, Fakhri Ghafur. Judul asli: Fiqh al-Mu’awadhah.
[4] Ibid
[5] ibid
[6] ibid
[7] Gharar dalam pengertiannya adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, seperti membeli ikan yang masih di dalam kolam. Dan praktek seperti ini diharamkan oleh ulama dengan pertimbangan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, yang mengatakan Rasulullah saw melarang jual beli gharar. Dr. Musthafa Dib Bugha mengatakan bahwa ulama fikih membagi gharar kedalam tiga bagian, yaitu, pertama, gharar katsîr, kedua, gharar yasîr, dan ketiga, gharar mutawassith. (Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar transaksi Syariah), h. 89.  Sedangkan ulama Malikiah menjelaskan bahwa tidak semua gharar itu diharamkan ada yang masih dimaafkan sebagaimana dijelaskan oleh Husain hamid Hisan, apabila ada tiga unsur berikut, yaitu: 1) ghararnya yasir; 2) tidak diniatkan/tidak dimaksudkan; 3) dalam keadaan dharurat. Lihat Nandi Ramhman, Asuransi Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003), h. 8
[8] Lihat, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang  Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, dalam bagian pertama dalam putusan.
[10] Kuat Iswanto, Asuransi Syari’ah (Tinjauan Asas-asas Hukum Islam), (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cet. 1, h. 53. Lihat juga, Nandi Rahman, Asuransi Dalam Pndangan Islam, (Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003), h. 3-4
[11] Lihat juga, Muhammad Abdul Manan, Islamic Economics Theory and Practice. H. 305.
[12] ibid
[13] ibid
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Asuransi Menurut Hukum Islam"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Silakan beri komentar!