Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail
Oleh, Abdul Karim Munthe
Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, di Indonesia Pengadilan Agama exis tanpa Undang-Undang tersendiri dan terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap yang bertugas menceraikan dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul di masyarakat, hanya diberikan “fatwa waris” bukan penetapan apalagi putusan dari Pengadilan Agama berwenang .
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama belum berada pada status mandiri dan independen. Meskipun pada tahun 1948 muncul UU No. 19 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, namun menurut Satjipto, perubahan UU tersebut masih bersifat euro-centris yakni berkiblat ke Belanda. Hal ini terlihat dari bentuk peradilan dan perangkatnya dan hukum acara serta hukum materiilnya masih menggunakan hukum Belanda.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 29 Desember 1989 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, meskipun di dalamnya banyak mengatur persoalan tehnis beracara di depan sidang pengadilan. Bangsa Indonesia secara terus menerus akan memerlukan pembaharuan hukum sehingga dapat dicapai kodifikasi dan unifikasi hukum. Pemberlakuan undang-undang ini cukup penting dalam kehidupan masyarakat yang beragama Islam. Masyarakat Islam telah terlayani penyelesaian sengketa di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. Dalam hal ini yang hendak ditegakkan dalam lingkungan peradilan agama adalah substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan masyarakat muslim.
Adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberi nilai positif bagi keberadaan lembaga peradilan agama dalam system pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia dan telah banyak menghasilkan perubahan diberbagai bidang kehidupan masyarakat hukum dan ketatanegaraan. Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan adalah adanya peradilan satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, diawali ketika amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan adanya penambahan tentang kekuasaan kehakiman.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama khususnya lewat pasal 106 tersebut keberadaan lembaga Peradilan Agama yang dibentuk sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 keberadaannya diakui an disahkan dengan undang-undang ini. Dengan demikian Peradilan Agama menjadi mandiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana ciri-cirinya antara lain hukum acara dilaksanakan dengan baik dan benar, tertib dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan dilaksanakan sendiri oleh pengadilan yang memutus perkara tersebut.
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak tahun 1961, yaitu sejah dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR Republik Indonesia selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR Republik Indonesia guna mendapatkan persetujuan, sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu: Periode Pertama (1961-1971), dalam periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama; Periode Kedua (1971-1981), dalam periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui gagasan dipersiapkannya RUU PA; Periode Ketiga (1981-1988), dalam periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain. Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1981 dan kemudian oleh Departemen Kehakiman pada tahun 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung saat itu);
Perjalan legislasi RUU PA ini tidaklah berjalan mulus, sebagaimana pada umumnya RUU yang lainnya banyak mendapat tantangan, apalagi dalam RUU PA ini tercium sekali aroma persaingan Agama. Ridwan Saidi[1] mengelompokkan pihak yang menentang ini kepada tiga, yaitu: Kelompok pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak diperlukan lagi. Sebab akan ada kesan dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan Umum. Kelompok kedua, malah menginginkan agar Peradilan Agama dibubarkan. Umat Islam seharusnya mengurus sendiri hukum islam yang mereka anut. Kelompok ketiga, bukan saja menolak RUU PA, tetapi juga eksistensi Peradilan Agama.
Susunan UU Peradilan Agama yang disahakan terdiri dari 7 bab dan 108 pasal dengan sistematika sebagai berikut,
Bab I: (pasal 1-5) Memuat ketentuan umum, tentang pengertia, kedudukan, tempat kedudukan, dan pembinaan dalam lingkungan Peradilan Agama
Bab II: (pasal 6-48) Mengatur tentang susunan Pengadilan Agama dab pengadilan, yakni seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris,dan juru sita.
Bab III: (pasal 49-53) Mengatur Kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam pasal 49  ayat 1 bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang,
a.       Perkawinan
b.      kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.       wakaf dan shadaqah.
Bab IV: (pasal 54-91) mengatur Hukum Acara. Bagian pertama pada bab ini mengatur bagian yang umum sebagaiamana dikatakan bahwa hokum acara yang berlaku diperadilan agama adalah apa yang berlaku di Pengadilan Umum, kecuali apa yang diatur secara khusus. Sedangkan bagian kedua yang diatur dalam arti khusus yaitu yang berkaitan dengan (a) cerai talak yang datang dari pihak suami; (b) cerai gugat yang dating dari pihak istri maupun dari pihak suami; dan (c) dengan alasan zina.
Bab V: (pasal 92-105) menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai admisitrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Bab VI: (pasal 106) mengenai ketentuan peralihan yang menyebutkan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 106 UU No. 7 tahun 1989,
1.      semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2.      semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undangundang ini.
Bab VII: (pasal 107-108) tentang ketentuan penutup, yang menyatakan bahwa semua peraturan peradila agama di Jawa dan Madura di sebagian (bekas) residensi Kalimantan selatan dan Timur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia. Dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian terciptalah unifikasi hokum yang mengatur peradilan agama di Indonesia.
A.    Lahirnya KHI
Penyusunan KHI dalam sejarahnya dibagi kepada tiga periode. Periode pertama dari awal sampai pada tahun 1945 kedudukan hukum islam mengalami pergeseran dalam system hokum yang berlaku; periode kedua, 1945-1985 mulai bergeser ke hokum tertulis, dan pada 1985 mengarah pada periode taqnin dan kompilasi hokum islam sebagai embrionya. Dan terakhir, 1985 hingga kini.[2]
Kompilasi Hukum Islam (singkat KHI) adalah produk hukum islam yang tercantum didalamnya beberapa ketentuan hukum yang mengatur dalam hal perkawinan, kewarisan, dan Perwakafan, adalah hasil dari inpres no 1 tahun 1991 oleh presiden Soeharto. KHI dibuat berawal dari ketidak pastian hokum dan rasa kadilan masyarakat terhadap putusan peradilan agama yang tidak memiliki sumber hokum yang terkodifikasi, namun masih mangambil pendapat ulama fikih yang pada saat itu ada 13 sumber fikih. Sebagaimana didalam huruf b surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai Pelaksanaan PP. 45 tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura. Yaitu, 1. Albajuri; 2. Fath al-Mu’in; 3. Syarqowi ala al-tahrir; 4. Qolyubi (al-mahalli); 5. Fathul Wahhab dan Syarahnya; 6. Tuhfah; 7. Taghrib al-Musytaq; 8. Qowanin syar’iyyah lil Sayyid Sadaqah Dachlan; 9. Qowanin syar’iyyah lil Sayyid bin yahya; 10. Syamsuri fi al-Faraidh; 11. Bughyat al-Musytarsyidin; 12. Alfiqh ‘ala mazhahib al-arba’ah; 13. Mughni al-Muhtaj.[3]
M. Yahya Harap[4] menjelaskan tujuan dari KHI adalah, 1. Melengkapi Pilar peradilan Agama; 2. Menyamakan Persepsi Penerapan hokum; 3. Mempercepat proses Taqribi bainal Ummah; 4. Menyingkirkan Paham Private Affair (urusan pribadi)..


[1] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia (dari otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokrastis-responsif), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 128-129
[2] Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI, instruksi Presiden RI. Nomor 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (2002), h. 123-124
[3] Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI, instruksi Presiden RI. Nomor 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (2002), h. 127-128
[4] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, (Jakarta: SInar Grarika, 2009), h. 23-28
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan setelah UU No. 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Silakan beri komentar!