Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail

Rindu ku pada mu ayah: sebuah jawaban Mahkamah Konstitusi

19.43 Diposting oleh abdul karim munhte

Prawacana
Dalam berbagai hal, manusia tidak pernah lepas dari keinginan besar baik dalam hal karir, pendidikan bahkan dalam hal percintaan. Oleh karena itu tidak asing bagi kita ketika melihat sekarang ini banyaknya lembaga yang bergerak dalam bidang tersebut. Sebagai contoh banyaknya lembaga konsultasi politik, instansi pendidikan swasta maupun negeri, begitu juga lembaga maupun perorangan yang bergerak dalam bidang percintaan (biro jodoh). Hal ini mutlak terjadi dan sangat gampang didapatkan, didukung dengan mudahnya komunikasi melalui elektronik seperti mengakses internet, dll. Namun yang menarik dalam hal ini adalah maraknya kasus perkawinan yang dimulai dari perkenalan dari fasilitas tersebut, baik dengan cara legal atau bahkan ilegal.
Indonesia sebagai negara multikultural, etnis, agama, adat, dan bentuk negara kepulaun. Memiliki karakteristik dan kesulitan tersendiri, yang berbeda dalam menjalankan aturan hukumnya dengan baik dan sesuai keinginan perbuatnya (legal of maker),
jika dibandingkan negara maju lainnya. Sebagai contoh bahwa pernikahan harus dicatatkan, bagi non-muslim di kantor catatan sipil dan bagi muslim di KUA, tidak berjalan dengan baik pasalnya biaya untuk melakukan hal tersebut mahal dan domisili masyarakat dengan tempat pendaftaran sulit untuk dijangkau, dan kalaupun ingin dijangkau harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, padahal umumnya masyarakat yang jauh dari pusat kota berekonomi menengah sampai kebawah, ini merupakan salah satu yang menyebabkan banyaknya kasus pernikahan dibawah tangan (tidak dicatatkan), disamping itu juga ada kasus yang tidak mencatatkan pernikahannya karna berpoligami.
Perkawinan sebagai ikatan yang sakral (dalam bahasa Alquran, mîtsâqan ghalîzha), sedangkan dalam bahasa UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tentunya banyak komitmen yang disepakati untuk kebaikan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Diantara tujuan pernikahan adalah menyambung keturunan.
Permasalahan yang muncul adalah ketika anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan selama ini adalah tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Sebab dalam pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena itu akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, dengan demikian hak dari anak tidak dapat diperoleh dari ayah anak tersebut, seperti hak waris, wali, nafkah lahir dan batin.
Setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, keadaan tersebut berobah saratus persen. Anak yang sebelumnya tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dengan putusan ini anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayahnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain. Sebagai pertimbangannnya adalah anak tersebut tidak memiliki kesalahan, sebab, yang salah adalah orang tuanya, dan tidak mungkin seorang anak lahir tanpa ada hubungan dari seorang laki-laki. Dan tidak adil, jikalau, laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab terhadap anak tersebut dibebaskan dari kewajibannya.
Putusan ini disambut baik oleh sebagian kalangan, namun tidak dipungkiri juga bahwa putusan ini mengandung kontroversi, khususnya dikalangan umat muslim. Jika anak yang dihasilkan dari pernikahan dibawah tangan (tidak dicatatkan) ini tidak menimbulkan masalah bagi kalangan muslim, namun ketika putusan ini digeneralisir kepada seluruh anak yang dilahirkan tanpa pernikahan seperti anak hasil zina, kumpul kebo, atau perkosaan, samen leven, mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya menuai masalah. Pasalnya dalam kajian fikih anak yang dihasilkan dari perzinahan atau tanpa ikatan perkawinan hanya mempunyai ikatan perdata dengan ibunya.
Putusan ini berawal dari permohonan uji materi (judicial review) mantan istri siri Moerdiono (mantan menteri sekretaris negara) Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti Haji Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, atas UU No. 1 tahun 1974 terkait pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pasal 43 ayat (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, terhadap UUD 1945.
Oleh kerena itu dalam tulisan ini akan dibahas dua tema pokok besar yaitu (a) syarat sah perkawinan; (b) anak sah dan hubungannya dengan kedua orang tuanya;
Syarat Sah Perkawinan
Pernikahan dalam bahasa inggris disebut dengan marriage sedangkan dalam bahasa Arab lazim disebut dengan jawâz, al-nikâh. Dalam UU Perkawinan dalam pasal 1, yang dimaksud dengan “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan dalam KHI pasal 2 dikatakan bahwa “Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Sebagai sebuah ikatan yang urgen dan sakral sebab terkait keberlangsungan generasi tidak hanya dilingukungan keluarga, masyarakat dan yang lebih makro bangsa dan agama. Perkawinan memiliki syarat sah tertentu untuk mengakui secara legal sebuah perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan dalam pasal 6 bahwa pernikahan yang sah apabila:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan 2 (dua) calon mempelai,
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya,
  3. Dalam orang tua meninggal maka ijin diperoleh dari orang tua hidup terlama/orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,
  4. Jika orang tua keduanya meninggal, maka ijin dari walinya, Jika orang dalam ayat 2,3,4, pasal ini tidak memberi ijin maka PN memberi ijin.
Sedangkan dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) perkawinan diijinkan apabila pihak laki-laki telah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun dan boleh menikah di bawah usia tersebut dengan cara mengajukan konpensasi perkawinan oleh orang tua.
Disamping syarat diatas ada ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) yang menjelaskan tentang Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melihat kedua teks pasal ini dapat jelas bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Namun ketika melihat ketentuan ayat (2) para pakar berbeda pendapat apakah dia termasuk dari penentu sah atau tidaknya sebuah pernikahan, atau dia hanya sebagai kewajiban adiministrasi.
Jika melihat dari Pendapat mahkamah pada pokok permohonan disana dijelaskan bahwa, melihat dari penjelasakan umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,
“… bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peritiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.” Lebih lanjut mahkamah menjelaskan bahwa berdasarkan penjelasan UU 1/1974 di atas nytalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan bagian dari penentu sah atau tidaknya ikatan perkawinan, tapi, hanya sebagai kewajiban administratif saja. Mahkamah melihat dari dua perspektif. Pertama; dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberi jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum demokratis. Dan kedua; pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, yang kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti sempurna dan bukti autentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Walaupun demikian disana terjadi perbedaan pendapat (concurring opinion) oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang mengatakan bahwa, pasal 2 ayat (2) dalam UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas, karena tidak ada penegasan apakah dia mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan atau hanya sebagai kewajiban administrasi. Namun dalam tinjauan sosiologis sekarang bahwa sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri. Dengan demikian bahwa pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindugan negara dan untuk menghindari kecendrungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna. Pencatatan perkawinan setidaknya diletakkan dalam dua konteks yaitu (a) mencegah; dan (b) melindungi;
Dalam kenyataan di Indonesia masih banyak yang mendasarkan pada hukum agama dan kepercayaan, dalam hal syarat sah perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan tidak dilakuakan. Dan ini rentan mengalami kerugian terhadap perempuan, jikalau suatu saat nanti ada cekcok antara suami istri dan ini tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti yang autentik, sehingga negara tidak dapat menjalankan kewajibannya.
Komentar atas putusan Mahkmah Konstitusi
Dalam hal ini mahkamah konstitusi dalam memutuskan sah atau tidaknya perkawinan hanya melihat teks dan penjelasan UU 1/1974 tanpa melihat kejadian yang ada ditengah masyarakat. Sebab banyak mereka yang melakukan nikah dibawah tangan ketika terjadi konflik antara suami istri, istri tidak dapat memperoleh hak dari suami. Tidak hanya terhadap istri anak yang lahir diluar perkawinan yang dicatatkan juga mendapat implikasi hukum bahwa dia hanya mendapat hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, seperti dalam hal waris, nafkah, atau kasih sayang. Sehingga keputusan bahwa pencatatan hanya sebagai kewajiban administratif saja tidak cukup. Dan ini secara tidak langsung mendukung atas ketidak terpenuhinya atas hak-hak perempuan. Dan mematikan semangat untuk menghilangkan praktek pernikahan dibawah tangan.
Dan untuk menyikapi hak tersebut pemerintah sebaiknya segera untuk merubah atau memperbaiki ketentuan yang ada dalam UU 1/1974 tersebut dan segara mensahkan RUUHM PA.
Anak Sah Dan Hubungannya Dengan Kedua Orang Tuanya
Anak sah adalah sebuah term yang menjelaskan bahwa anak yang diakui secara legal. Dengan kata lain bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir susai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian bahwa anak sah berhak memperoleh hak-hak nya sebagai anak, seperti hak nafkah, waris, dan/atau wali.
Dalam UU 1/1974 pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Melihat ketentuan pasal ini jelas bahwa antara anak sah dan pernikahan yang sah tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mengikat. Dengan demikian bahwa apabila pernikahan hanya dicukupkan sah atau tidaknya terhadap ketentuan agama dan kepercayaannya maka anak yang lahir dari pernikahan di bawah tangan seharusnya memiliki hubungan perdata dengan kedua orang tuanya termasuk ayahnya. Namun kerena kesulitan untuk membuktikannya maka anak dari hasil nikah di bawah tangan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Namun anak yang dilahirkan dari hasil illegal seperti hasil zina, kumpul kebo, semen leven dll. Tidak dapat diakui sebagai anak yang sah.
Sebagai kelanjutan dari pasal 42, pasal 43 menjelaskan ayat (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Begitu juga dalam KHI pasal 99 dijelaskan bawah ada dua ketentuan untuk menggap anak sah apabila:
a.       anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b.      hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Ketentuan ini sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh kaum muslimin di Indonesia sebab ini sesuai dengan ketentuan fikih yang ada. Dan ketentuan ini juga dimuat dalam KHI pasal 100 Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Sehingga anak yang lahir dari hasil atau akibat dari perkawinan yang tidak dapat dibuktikan tidak memiliki hubungan dengan ayah biologisnya. Menanggapi hal ini Mahkamah Konstitusi menggap bahwa hal ini tidak adil bagi anak dan bagi istri. Sebab tidak mungkin ada kelahiran tanpa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, dan jika dalam hal ini laki-laki dibebaskan dari pertanggung jawaban untuk melindungi dan memberi hak  anak maka ini dianggap tidak adil.
Dalam putusannya anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah memiliki hubungan hukum perdata tidak hanya kepada ibu dan keluarga ibunya, tapi juga terhadap ayah biologis dan keluarga ayahnya. Dalam putusannya dijelaskan;
“menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengna ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengna laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Dalam putusan ini jelas bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata kerena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan kepada pembuktian adanya hubungan darah. Dengan demikian prosedur administrasi perkawinan sudah dilepaskan atau tidak dipandang dalam hal menentukan anak sah. Sebab jika tidak demikian maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena dialahir diluar kehendaknya. Oleh karana seharusnya antara anak dan ayah biologisnya memiliki hubungi perdata. Sehingga hak anak yang merupakan kewajiban ayahnya dapat diperolehnya dengan didukung oleh kekuatan hukum yang kuat.
Komentar atas putusan Mahkmah Konstitusi
Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mengambil langkah yang sangat progresif dan mengobah pandangan yang selama ini bahwa anak sah hanya dibuktikan dengan bukti perkawinan saja, tidak melihat pembuktian melalui alat teknologi atau bukti lain yang memiliki kekautan hukum. Melihat dari putusan ini bahwa Mahkamah Konstitusi melihat aspek sosilogi, berbeda dengan sebelumnya tidak melihat sama sekali. Dan jikalau kita melihat putusan ini tampak jelas bahwa putusan ini mangakomodir kepentingan dari anak, disamping juga pertimbagan atas pasal 28B ayat (1) dan (2) dan juga pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana bahwa mahkamah konstitusi berwenang menguji UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Namun hal ini tidak lantas bebas dari kritikan sebab dengan adanya putusan ini tidak hanya anak yang lahir dari pernikahan dibawah tangan yang memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tapi juga terhadap anak yang dilahirkan dari hasil zina. Dan ini menuai kontroversi khususnya dikalangan muslim yang mengganggap bahwa anak yang dihasilkan dari perzinahan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Bagi penulis bagi mereka yang menolak putusan dengan mengatakan bahwa ini berarti melegalkan perzinahan, alasan ini penulis kira tidak cukup beralasan, sebab tanpa putusan inipun perzinahan tetap ada dan tidak ada kaitannya dengan adanya putusan ini. Dan putusan ini bagi penulis tidak meningkatkan potensi perzinahan, bahkan boleh jadi mengurangi, karna pada umumnya laki-laki yang melakukan zina adalah mereka yang tidak bertanggung jawab, dengan adanya putusan ini bahkan seharusnya dapat mengurangi angka perzinahan.
Kesimpulan
Anak yang pada awalnya tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya sejak dari Jum’at 17 Februari 2012 dengan disahkannya permohonan pengujuan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain.
Terkait dengan judul di atas bahwa hubungan yang selama ini renggang antara anak dengan ayah biologisnya tidak lagi renggang, sehingga anak telah dapat berinteraksi dengan baik dalam kaitannnya dengan hubungan perdata khususnya.
Akibatnya anak dalam hal ini berhak menerima hak-haknya dari ayahnya, yang selama ini terhalangi, karena dia bukan merupakan anak sah dari ayah biologisnya. Seperti hak waris, nafkah, akte dengan menyebut nama ayahnya, dll.
Saran
Kepada pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan RUUHM PA atau/dan memperbaharui UU 1/1974 khusunya terkait dengan mempertegas bahwa pencatatan pernikahan adalah merupakan bagian dari syarat sah nikah, tidak hanya sebagai kewajiban administrasi. Sebab hal ini berimplikasi besar, karna apabila masih dianggap sah maka akan merugikan pihak perempuan apabila terjadi permasalahan dikemudian hari kerena sulitnya membuktikan perkawinan, sebab perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang ada.
Dan kepada MA agar segera mengintruksikan kepada lembaga peradilan dibawahnya agar segera menerapkan apa yang telah diputuskan oleh MK tersebut. Dan segera membuat peraturan bagaimana mekanisme pembuktian anak sah tersebut. Seperti pemeriksaan paksa terhadap yang dicurigai sebagai ayah biologisnya, tidak lagi hanya dengan suka rela.
Wallahu A’alam Bis Showab.
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Rindu ku pada mu ayah: sebuah jawaban Mahkamah Konstitusi"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Silakan beri komentar!