بسم
الله الرحمن الرحيم
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan
perputaran waktu, disebabkan kehidupan menusia yang secara teratur bergerak
menuju kesempurnaan. Menurut Harun Nasution Perubahan identik dengan modernisme
di Barat, yang mengadung arti fikirin, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah
faham-faham, adat istiadat, institusi lama, dll untuk disesuaikan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (h. 1).
Dalam sejarah semua norma hukum sesuai dengan ijtihad yang kontekstual yang
terdokumentasi dalam ribuan judul dan jilid naskah kitab yang dinamis dan
mewarnai penjuru dunia dan cukup hangat dibicarakan. Disana tidak ditemukan kesepakatan,
kecauli sepakat untuk berbeda, dinamis, namun tidak merubah sumber aslinya
sehingga timbul ijtihad yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
Khulafâ al-Râsyidûn adalah penafsir hukum pertama, semua ijtihad dibawah payung
nilai dan norma Alquran dan Sunnah dengan pemahaman dan pertimbangan yang
kontekstual (h.2). semasa mereka banyak kontribusi besar dalam evolusi
pemikiran hukum islam yang dapat dipetakan dalam tiga hal, yaitu: (1)
meneruskan pemerintahan Rasulullah saw dalam pemerintahan (dalam bidang politik
dalam dan luar negeri); (2) berhasil dalam mengaplikasikan ajaran islam dalam
kehidupan (dakwah bil fi’li dan dakwah bil qauli); (3) berhasil
menciptakan konsep pola pemikiran hukum dan panduan memahami ajaran islam
ketika berhadapan dengan tantangan dan perubahan zaman (h.3).
Hukum islam pada masa ini muncul dengan satu corak sendiri dalam dunia
hukum yang pernah dikenal manusia, karna tidak hanya sekedar isis dari Alquran
dan Sunnah, tetapi meluas kepada aturan dan pemikiran ummmat Islam yang setia
dengan tuntunan Alquran dan Sunnah. Hukum islam tidak hanya yang ditentukan
dalam catatan sejarah, tetapi juga mungkin untuk berkembang selama ummat Islam
masih ada. Segala persoalan sosial yang berkaitan dengan masyarakat muslim dan
diberikan aturannya dengan nilai-nilai keislaman, maka aturan tersebut adalah
hukum islam, sehingga hukum ini tidak lagi sebagai identitas agama saja, tetapi
juga identitas manusia (h. 6).
Al-Khulafâ al-Râsyidûn berhadapan dengan masyarakat yang mengalami
perubahan dengan cepat. Penduduk Arab yang dahulu sebahagian hidup dalam duni
nomaden (kehidupan berpindah), dan sebahagian agraris dan kaum pedagang, pada
saat pemerintahan mereka telah berubah menjadi masyarakat elit dan kelas satu
dibanding rakyat taklukan dan orang-orang yang baru masuk islam (h. 7).
Dalam pembahasan buku ini bertitik tola dari; (1) bagaimana yang dihadapi
al-Khulafa al-Rasyidun, apa faktor penyebabnya, bagaimana cara menganalisisnya,
dan bagaimana membuat ketetapannya. (2) siapakah al-khulafa al-rasyidun dan
kedudukan mereka dalam bidang politik, bagaimana pengangkatannya, dimana
kedudukannya, apa sistem pemerintahannya dan mengapa mereka disebut al-Khulafa’
al-Rasyidun (3) bidang apa saja ijtihad mereka (4) tentang hukum mengalami
perubahan ketentuan kapan dan dimana terjadi perubahan;
Pengertian-pengertian dasar tentang hukum Islam, Perubahan Sosial,
dan al-Khulafâ al-Râsyidûn.
Pengertian hukum islam.
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Hukm, yang bermakna itsbatu
li amrin au nafyun ‘anhu (menetapkan sesuati kepada sesuatu atau menafikan
sesuatu dari sesuatu), dan al-qadhâ bi al-‘adalah (memutuskan dengan adil).
Hukum syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari Alquran
dan Sunnah (h. 25). Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum islam. Pertama,
syariat menurut Ibn Mazûr (630-771) diambil dari kata syara’a yang
berarti mengambil air dengan mulut, tempat lalunya air, dan tempat lewat
minimum yang ditegakkan orang. Menurut istilah beliau menjelaskan ketetapan
Allah yang dituangkan dalam bentuk agama, seperti puasa, shalat, haji, zakat
dan sekalian perbuatan baik. Sedangkan ‘Âlî al-Jurjani (740-816) syar’u
memiliki makna bayân, audah, dan izhar. Menurut istilah ialah perintah
untuk menjalani pengabdian. Menurut al-Qurtubi (w. 671) syar’a berarti
jalan besar, jalan menuju ke tempat air, dan jalan keselamatan. Menurut Zakaria
al-Anshâri mengatakan bahwa syariah adalah membolehkan sesuatu atau
melarangnya. Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa syariah adalah bagaimana
cara untuk mengabdi pada Allah dan jalan mana yang ditempuh untuk pengabdian
kepadanya (26-27).
Dari pengertian yang dijelaskan ulama diatas dapat disimpulkan bahwa
syariah adalah ajaran dari Alquran dan Sunnah, pengajaran agama mengalami
proses selama 23 tahun, dimulai sejak umur Rasulullah saw 40 tahun dan berakhir
di usia 63 tahun. Sebagai sumber ajaran agama Alquran berisi akidah, akhlak,
cerita masa lalu dan yang akan datang, doa-doa, puji-pujian, tamsil dan
sebagainya. Dalam Alquran yang mengandung hukum ada 500 ayat menurut
al-Ghâzali, al-Râzi, Ibn Jazzî al-Kilabi dan Ibn Qudamâh dari 6666 ayat. Namun
ada juga perbedaan pendapat diantaranya Tantawaî Jauharî (150 ayat), Ahmad Amin
(200 ayat), ‘Âlî al-Sabunî (229 ayat), Muhammad Ali al-Sâyis (232 ayat),
Muhammad Khallaf (328 ayat), sedangkan yang memperkirakan diatas 500 ayat ialah
Ibn Mubarak dan Abu Yusuf menyebutkan 900 dan 1.100 ayat. Semua ketentuan wahyu
ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi saw baik tujuan maupun teknis
pelaksanaanya. Itulah ajaran pokok agama islam untuk kepentingan manusia (h.
27-29).
Istilah dalam hukum islam juga ditemukan “fiqh” secara bahasa bermakna
faham, mengerti, mengetahui, dan cerdas.
Term fiqh secara umum dipergunakan untuk memahami ajaran islam. Dalam
istilah fiqh dimaknai beragam oleh ulama, diantaranya: Zakaria al-Anshari fiqh
itu ialah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang
dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Al-Manawi (952-1031 H) yang
bersifat syariat yang (jalan pengeluarannya) melalui ijtihad. Menurut Ibn
Khaldun (732-808 H) fiqh adalah mengenal hukum-hukum Allah yang berkaitan
denagn perbuatan mukllaf seperti wajib, haram, sunnat (nadb), makruh, dan
boleh; yang dikeluarkan dari al-Kitab dan Sunnah. Apabila hukum-hukum itu
dikeluarkan dari dalil tersebut, maka disebutlah dengan fiqh, dan beberapa
pendapat lain (h. 30). Dalam kajian fiqh terdapat biadang akhirat dan dunia
yang terbagi dalam tiga bagian pokok yaitu, bidang mu’amalah, munakahat,
‘uqubat (h. 31). Semua hukum ini didasarkan kepada dalil dari firman Allah dan
Sunnah Rasulullah saw, ijma’, qiyas, dan apa saja yang menjadi sarana sampai
kepada dalil sebagaimana yang diatur dalam ilmu Usûl fiqh, sebagai prosedur
ilmiah mengeluarkan kandungan dari unit-unit dalil (h. 31). Menurut Abdul Qadir
Audah bahwa hukum dibedakan antara hukum syariat Allah dan hukum yang dibuat
manusia, adalah: pertama, syariat dari Allah mencerminkan pengetahuan
Allah tanpa batas, sedangkan hukum yang dibuat manusia senantiasa berubah; kedua,
hukum buatan manusia berkaitan dengan tuntutan sosial, karena itu dibatasi
ruang dan waktu; ketiga, hukum dibuat manusia berdasarkan tradisi, dan
sejarah, sehingga hukum bukan sebagai pimpinan dalam perilaku, tetapi alat
untuk mencapai tujuan. Syariat itu sempurna dan abadi.
Istilah selanjutnya adalah ijtihad, yaitu usaha untuk memahami hukum dari
dalilnya maupun melahirkan hukum. Muhammad Salam Madkur, ijtihad secara garis
besar bertitik tolak pada pencarian pengertian dan maksud Alquran dan Sunnah,
menganalogikan kasus baru kepada kasus lama yang sudah ada hukumnya dan
mengeluarkan hukum baru yang sejalan dengan tujuan syariah. Ali Hasb Allah,
mengataka bahwa seorang mujtahid haruslah menguasai tiga hal, yaitu (1)
penguasaan bahasa; (2) penguasaan dalil; (3) pengetahuan tentang maqashid (h.
32).
Perkembangan dan perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya
ijtihad, sebab pada saat terjadi pula kasus baru yang berbeda yang tentunya
memerlukan aturan pula. Muhammad Atho Mudzhar mengklasifikasikan hukum islam
menurut naskah yang ditemui saat ini kedalam 4 kategori, (1) yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh, sifatnya menyeluruh, kebal terhadap perubahan, tidak
disebutkan masa berlakunya; (2) keputusan Peradilan Agama, yang bersifat
dinamis, responsif, tidak meliputi semua aspek, hukumnya mengikat; (3)
peraturan di negara-negara muslim yang bersifat mengikat, yang melibatkan
ulama, fuqaha, cendikiawan, politisi, berlakunya biasa dibatasi dalam
pembuatannya; (4) fatwa-fatwa ulama, sifatnya kasuistik, tidak mengikat, tidak
menggunakan sistematika fiqh (h. 33).
Perubahan Masyarakat.
Sebelum membahas perubahan masyarakat baiknya memahami apa yang dimaksud
dengan masyarakat. Ada bebarapa defenisi
yang diberikat yang berkaitan dengan masyarakat, yaitu (1) masyarakat merupakan
kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup berkelompok; (2) masyarakat merupakan
kumpulan unit dan istimewa yang hidup saling menopang; (3) manusia bersifat
dengan kelemahan, segala sesuatu yang dibutuhkan tidak dapat diadakannya
sendiri, tetapi bisa ditutupi dengan cara saling memberi; (4) masyarakat adalah
bagian dari alam semesta, fenomena dari ciptaan Tuhan yang maha kuasa, dan
senantiasa berubah. Allah telah menetapkan hukum baku pada alam yaitu
senantiasa berubah, tidak ada yang tetap al-‘alam mutaghayyir wa kullu
mutaghayyir hadits (alam itu berubah-rubah, setiap berubah baharu, maka
alam itu baharu (h. 35).
Menurut Ian Robertson struktur masyarakat terdiri dari status (peranan),
roles (norma bertingkah laku), groups (kelompok orang), dan institution (interaksi
yang berada dalam jaringan). Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan
masyarakat maka dapat kita fahami bahwa perubahan. Perubahan, perkembangan,
dinamika, adalah kata-kata yang menggambarkan karakter alamiah manusia, yang
dikatakan Zanab al-khudhari sebagai tabiat. Muhammad Syarîf Ahmad menyebutnya
sunnah kehidupan (h. 35-36). Kehidupan berubah karena adanya perubahan pada
saat adanya perbedaan waktu. Masyarakat dapat dipahami sebagai satu kesatuan
hidup yang berinteraksi menurut sistem yang bersifat kontiniu dan terikat. Ian
Robertson menegaskan masyarakat memiliki tiga identitas yaitu, kesamaan tempat,
interaksi, dan kesamaan kultur (h. 37).
Kultur adalah apa yang dihasilkan oleh manusia baik bersifat benda maupun
pemikiran. Nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap
segala sesuatu yang dianggap baik, penting, luhur, dan berdaya guna bagi
kebaikan hidup bersama. Dari empat unsur ini terbentuklah apa yang dinamai oleh
ilmu sosiologi dengan masyarakat, dan perubahan masyarakat terjadi apabila
perubahan terjadi pada salah satu unsur yang empat ini. Menurut Pitr Sztompka
perubahan terjadi di dalam atau mencakup sistem. Perubahan sosial bergerak dari
sebuah analogi yang menyamakan masyarakat sebagai satu kesatuan yang terikat
dalam sistem (h. 38-39).
Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya, struktur sosial, dan
perilaku sosial pada rentangan waktu. Dalam defenisi ini Robertson meletakkan
perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang dikaitakan dengan
waktu. Perlu diingat bahwa persoalan waktu merupakan bagian penting dari sebuah
perubahan (h. 39). Perspektif konflik bahwa perubahan pada sistem masyarakat
adalah suatu sistem yang tidak stabil dari kelompok-kelompok dan kelas-kelas
yang saling bertentangan. Studi tentang perubahan sosial tidaklah mudah, banyak
problem yang mengiringinya. Menurut ian Robertson ada dua alasan muncul
problem, yaitu (1) perubahan hendakanya diketahui lebih dahulu keadaan sebelum
terjadinya perubahan. (2) perubahan sosial terjadi tidak hanya dari satu
faktor, tetapi bermacam-macam, menurutnya faktor-faktor penyebab perubahan
sosial adalah lingkungan, populasi, ide, peristiwa, inovasi kultur, aktifitas
manusia, dan teknologi (h. 41).
Dalam perspektif materialis, perubahan sosial terjadi karena adanya fator
material yang menyebabkannya, diantaranya faktor ekonomi dan teknologi yang
menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada
akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma. Menurut Weber
perubahan berkaitan erat dengan keyakinan dan pemikiran. (h. 43).
Agama Islam erat kaitannya dengan dengan perubahan dalam ajarannya, dalam
Alquran dalam surah al-Rahmnân/55:29, ayat ini terdapat dialog antara sahabat
dengan Rasulullah saw yang berisi tiga aktivitas perubahan, yaitu: (1) perilaku
individu; (2) masyarakat; (3) negara; (h. 45). Perkembangan dalam masyarakat
terlihat dalam dua bentuk yaitu, perkembangan terencana (planned change) dan
perkembangan tidak terencana (unplanned change). Bagi seorang agen perubahan ia
harus mencermati sumber persoalan, mengetahui penyakitnya, dan melakukan terapi
penyembuhan dengan bijak. Perkembangan yang mengarah kepada kemunduran disebut
dengan kemungkaran, yaitu yang tidak diakui oleh norma luhur yang diakui hati
nurani sebagaimana diajarkan agama, sendangakan perkembangan yang tidak baik
disebut dengan ma’ruf. (h. 47). M. Quraishihab mengatakan bahwa perubahan dapat
diterima oleh islam selama tidak bertentangan dengan nilai universal (h. 48).
Dari konsep purbahan hukum, sepanjang sejarah hidup manusia tak pernah kosong
memberikan perannya, namun senantiasa terikat ruang, waktu, dan kepentigan
tiada yang terbatas (h. 49).
Khalifah dalam Islam
Sebuah kelompok haruslah memiliki dua hal yaitu: pemimpin dan aturan.
Khalifah dalam pemerintahan adalah yang dipimpin sahabat yang empat yaitu Abu
Bakr, Umar, Utsman dan Ali, sedangkan yang sesudahnya lebih tepat jika
dikatakan sebagai Dinasti.
Perbahan masyarakat pada masa al-Khulafâ al-Râsydûn
Perubuahan sturutktur
Pada pembahasan buku ini mendiskusikan bagaimana al-Khulafa al-rasyidun
menjalankan hidup dan pemerintahan pada saat masyarakat sendang mengalami masa
proses perubahan yang cepat, berkah dari lahirnya islam. Sedapatnya pembahasan
ini dibatasi pada tanah hijaz yang menjadi tanah lahir islam (h. 67). Kota
Mekkah didirikan oleh Ibrahim, kemudian berkembang sampai anak cucunya yang
dinamai Quraisy (h. 69). Qurays memberikan kekuasaan mutlak atas pengaturan
Makkah kepada Qusay. Dalam amanatnya Qusay mendeskripsikan kepemimpinan di
Mekkah pada empat kategori, yaitu: (1) kewenangan (riyasah) terhadap
ka’bah; (2) mempertahankan kedaulatan Mekkah (liwa’); (3) menentukan
tempat musyawarah (Dâr al-Nadwah); (4) mengurus kaum pendatang yang
melaksanakan haji (siqâyah) (h. 70); di Madinah Nabi membentuk
masyarakat baru dengan sistem baru dan struktur baru, yaitu: institusi
mu’amalah, keluarga, perdamaian dan lainnya direformasi norma-normanya guna
meraih status baru, sebagai orang muslim. Nabi saw kemudiaan mengajarkan hukum
yang berbeda dengan hukum adat sebelumnya. Hukum adat yang mengatur tentang
pertengkaran rumah tangga dan perceraian diperbaiki. Status poligami dan
perkawinan yang terjadi dibatasi. Perceraian yang tidak mengenal batasan hanya
sampai pada talak tiga (h. 76). Untuk menghindari kesenjangan antara si kaya
dan si miskin nabi mewajibkan zakat berdasarkan tingkat kepemilikan, agar beban
orang miskin dapat dibantu dan kecemburuan mereka dikurangi (h. 77).
Al-Khulafa al-Rasyidun tampil sebagai kepala pemerintahan mengembangkan apa
yang telah diwariskan oleh Nabi saw. Pemasukan negara pada masa khalifah
bersumber dari kharaj, sawafi, jizyah. Pelapisan masyarakat berkembang
dari sistem yang diciptakan islam, selain sistem sosial alamiah dimana saja
karena peranan ilmu dan kekayaan misalnya. Secara normatif agama membagi
manusia kedalam dua kelompok kafir dan muslim. Tetapi tidak hanya normatif,
juga defenitif berdasarkan keimanan dan patokan lainnya. Dapat dikelompokkan
dari, al-sâbiqun al-awwalûn (oran yang lebih dahulu masuk islam), Muhâjirîn
(kelas yang terdiri dari orang-orang Quraisy Mekkah yang beriman), Ansâr (kaum
muslimin yang membantu Rasullah saw yang tinggal di Madinah), mawali (yang
beriman yang bukan dari dua kelompok diatas), budak (dimasa Rasullah saw budak
memiliki ½ hak dari yang merdeka, dan selalu dalam setiap hukuman yang diberi
dari meninggalkan kewajiban adalah memerdekakan budak, hal ini menujukkan bahwa
kemerdekaan adalah perjuangan yang dilakukan islam secara perlahan), zimmi
(bermakna: aman. Dalam istilah orang non-muslim yang berada dikekuasaan muslim
dan diberi perlindungan untuk menjalankan agamanya dengan kewajiban membayar
jizyah, dan muallaf (pada umumnya mereka adalah orang yang berpengaruh ketika
islam masih lemah mereka diberi tujungan agar tidak memusuhi islam) (h. 78-84).
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun berubah seiring dengan pengertian kepemimpinan
puncak. Dimasa Abu Bakar negara dipimpin âmir yang disebut ‘khalifah’ dibantu
menteri disebut dengan ‘wadzir’ (h. 85). Pada masa Umar beliau
mengklarifikasikan rakyat dalam 5 tingkatan, (a) yang diberi 12000 dirham,
termasuk isteri Nabi saw dan ‘Abbas paman Nabi saw; (b) diberi 5000 dirham,
diberikan pada cucu Nabi saw dan pahlawan perang badar; (c) pemberian 4000
dirham, diberikan kepada Usamah ibn Zaid dan sahabat lain yang tidak ikut
perang badar; (d) pemberian 3000 dirham, diberikan kepada Ibn ‘Umar dan anak
Abu Salamah; (e) pemberian 2000 dirham, diberikan kepada Nadar ibn Anas dan
anak-anak muhajir dan anshar; (f) 800 dirham diberikan untuk penduduk Makkah;
(h. 86)
Perubahan tata nilai
Perubahan tata nilai selama pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun terlihat
dari bergesernya cara pandang dan pola berbuat masyarakat dalam beberpa aspek
penting. Seperti memandang manusia tidak lagi dari aspek kekabilahan tapi dalam
persfektif keislaman (h. 87). Untuk semua hal penting diatas dapat diliha dari
beberapa segi, (1) kepercayaan; pada masa pra-islam kepercayaan pagan
disamping juga dahriyun (mempercayai bahwak kehidupan itu hanyalah waktu)
tumbuh subur di jazirah arab, ketika islam masuk semua kepercayaan itu
dihapuskan dan diganti dengan ketauhidan kepada Allah. Al-Khulafa al-Rasyidun
melakukan tindakan keras dalam hal ini. Seperti Umar tidak mau menerima
potongan kepala musuh, karna itu perbuatan orang non-muslim. Dalam persoalan
ibadah Umar menyelenggaran tarawih dengan berjama’ah dan Ibn Umar sholat dhuha
berjama’ah. Utsman memberikan toleransi bagi mereka yang terlambat solat jum’at
dengan memberi waktu dengan menambah azan dua kali, dan mendahulukan khutbah
dari solat Ied (h. 93); (2) norma kemulian; pada masa jahiliah ada dua
tradisi terkemuka berdebat dalam satu majlis ditengahi oleh satu orang yang
bijak (hakam: orang ahli, bijaksana atau dukun), untuk mencari siapa yang
paling mulia (mufakharah dan munafirah) diliha dari segi
kedermawanannya, keluasan padangan, keberanian, kebersihan biografis, kefasihan
bicara, kebijakan (h. 93-94) dan kemudian dirubah oleh tradisi islam dengan
meberikan ukuran kemuliaan adalah ketakwaan (h. 95); (3) penghargaan
terhadap wanita; perubahan itu terlihat dari beberap faktor. Dari wa’du
al-banat atau membunuh anak perempuan yang baru lahir. Perkawinan orang
Arab, ada beberapa institusi nikah di arab, yaitu nikah maqt (nikah
kebencian, yaitu hak anak untuk menikahi istri ayahnya atau mengawinkannya
dengan orang lain dan mengambil maharnya, atau melarang menikah sampai ia
memberi uang setelah sang ayah wafat), nikah ibtida’ (menyerahkan istri
kepada orang lain agar disetubuhi sampai mengandung dan dikembalikan kepadanya
dan anaknya menjadi anaknya yang sah), nikah syighar, nikah akhdan (poliandri:
dapat bersuami lebih dari 10 orang dan ia dapat menunjuk siapa saja ayah dari
anaknya atau bisa juga dengan ahlu qiyafah), nikah baghaya (wanita yang
mempersilahkan siapa saja yang ingin menyetubuhinya dan anaknya juga ditentukan
ahl qiyafah), nikah mut’ah (nikah dalam jangka waktu dengna imbalan
sejumlah uang). Semua bentuk pernikahan yang ada dalam tradisi jahiliah
dibatalkan walaupun sempat mut’ah diperbolehkan oleh Nabi saw (h. 89-101). Pembatasan
Poligami, ummu walad, pada masa Umar dia melakukan perobakan melarang
menjual budak yang telah melahirkan anak untuk tuannya, yang sebelumnya masih
diperbolehkan. Wanita Ahl Kitab, pada masa Umar menikahi ahl kitab
dilarang, sebab wanitah muslimah banyak dan pasti lebih baik, yang sebelumnya
juga masih diperbolehkan. Talak Tiga Sekaligus, pada masa Umar juga
memutuskan talak tiga yang diucapkan sekaligus jatuh sebagai talak tiga. Hak
Nafkah Bathin Istri, pada masa Umar dia menetapkan bagi suami yang sibuk
agar menetap pada setiap malam keempat untuk memberikan perhatian kepada
istrinya (h. 102-103); (4) Ekonomi; pada masa pra-islam perdagangan
hanya dua kali setahun. Dan pada masa islam dikembangkan menjadi antar kota,
pulau dan negara, pada bulan-bulan tertentu pasar berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, ada 12 pasar yang dijelasn dalam buku ini (h. 104). Pada masa
jahiliah dalam perdagan banyak terjadi tipu muslihat, seperti jual beli gharar
atau dharar. Dan islam mamandang bahwa perdagangan adalah kesepakatan dan ia
tidak akan terjadi bila tingkat tipu daya cukup besar (h. 105). Pada masa
al-Khulafa al-Rasyidun pola ekonomi semakin meningkat, penghasilan negara oleh
Umar diperoleh dari kharaj yang selama ini tidak diekenal oleh bangsa
Arab, ini dia adopsi dari masyarakat Persia, dan menetapkannya untuk semua
jenis kegiatan ekonomi (h. 106). Jalur laut yang selama ini ditakuti menjadi
salah satu lintas dagang dan militer masa Utsman. Khalifah pun senantiasa
melakukan inspeksi pasar dan menegur orang yang membawa barang melebihi
kapasitas kendaraannya, biasanya dilaksanakan oleh dewan hisbah yang mewakili
khalifah (h. 106); (4) Sanksi Khamar; perubahan tata nilai telah jauh
meninggalkan apa yang telah mereka temui pada masa Rasulullah saw. Di masa
Rasulullah saw sanksi minum khmar hayat 40 kali pukulan dengan sandal, tongkat,
atau ujung baju. Ketika masa Umar ditambah 80 kali dengan alat cambuk (h. 106),
hal ini karena perubahan perilaku rakyat dan pejabatnya yang mulai longgar
dalam persoalan khamar (h. 107) kemudian pada masa Ali seorang Najasyi meminum
khamar di siang hari ramadhan maka Ali menahannya dan mencambuknya 80 kali,
keesokan harinya ia lepaskan dan dia cambuk 20 kali lagi dan mengatakan “aku
menambahimu 20 kali karena engkau sepele terhadap Allah dan berbuka di siang
ramadhan (h. 109); (6) Warisan; dalam masyarakat Arab hukum dipengaruhi
oleh kondisi alam mereka yang kering dan terik tanpa satu sungaipun yang dapat
dijadikan sumber air, sehingga model kehidupan padang pasir melahirkan keadaan,
memiliki rasa senasib sepenanggungan (‘asabiyah), tiap kelompok memerlukan
banyak anggota, sekutu, dan teman, untuk bertahan hidup, persekutuan lewat nila
jiwar, tabanni, wala’, qasam, dan muakhat dan persekutuan ini menjadi bagian
dari institusi kewarisan Arab. (h. 109) dengna demikian warisan dapat
disebabkan, nasab, perkawinan, perjanjian dan sumpah, tabanni (h. 110).
Warisan pun berubah menjadi dikarenakan pertalian darah (jalur atas, bawah,
samping), dan jalur pernikahan. Pada masa al-Khulafâ al-Râsyidûn tepatnya pada
masa Abu Bakr mendudukan kakek pada posisi ayah ketika ayah tidak ada. Cucu
menempati anak ketika tidak ada (h. 110). Di masa Abu Bakr saudara tidak
mendapat warisan bila bersama kakek, karena kakek menduduki posisi ayah dan
saudara terhijab ayah, maka saudara juga terhijab kakek (h. 111).
Prinsip dan Metode Ijtihad
Prinsip Ijtihad
Peranan al-Khulafâ al-Râsyidûn dalam masyarakat muslim periode sahabat
adalah peranan yang mengintegrasikan tiga status, yaitu sahabat Nabi saw,
mujtahid (intelektual) dan kepala negara. Peranan ini mempunyai pengaruh yang
besar dan kewibawaan yang prestisius, sebab mereka adalah orang terbaik dari
generasi terbaik (h. 113). (1) Prinsip Kebersamaan; prinsip kebersamaan
dalam menetapkan hukum dengan pola musyawarah yang dilakukan oleh al-Khulafa
al-Rasyidun dalam menyelesaikan masalah (h. 116). Musyawarah adalah pola
bertindak yang sangat penting dalam menyelesaikan urusan, sebab dia mengajarkan
kesetaraan status, pemaduan bermacam pikiran, tiap peserta memiliki hak suara
sama, tidak mayoritas dan minoritas, memberikan kehormatan, memberi keluasan
bagi manusia menggunakan akal (h. 117-18); (2) Prinsip Tujuan Hukum Yang
Terarah; Salam Madkur berkesimpulan bahw ijtihad yang dilakukan al-Khulafâ
al-Râsyidûn diarahkan kepada mencapai sasaran pokok dari hukum (maqâshîd
syari’ah) (h. 120). Kemaslahatan untuk melindungi manusia, tegaknya agama
secara sempurna dan terciptanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
Menurut Muhammad Khalid Masud hukum islam senantiasa berhadapan dengna
perubahan dan perkembangan. Atho Mudzar menambahkan bahwa hukum islam tidak
boleh kebal dari perubahan (h. 121). Kemaslahatan terbagi dalam tiga kategori
menurut ulama yaitu, maslahat dharuriyat (sangat penting dan harus ada),
maslahat hajjiyah(sesuatu yang dibutuhkan untuk memperoleh kelapangan),
maslahat tahsiniyah(mengambil apa yang paling etis dan estetis); (3) prinsip
rasional; pada umumnya al-Khalafa al-Rasyidun melakukan penetapan hukum
melalui nass lalu menjadikannya premis deduktif untuk menjaring kasus baru
dengan istilah asybah wa al-amtsal. Bagi al-Khalafa al-Rasyidun nass
adalah pedoman akal mencari petunjuk (h. 126). Ali selama pemerintahan Abu Bakr
sangat aktif dalam setiap musyawarah (h. 128). Pada zaman ini al-Khulafa
al-Rasridun melakukan ijtihad secara bebas dan bertanggung jawab (h. 129).
Suara hati adalah barometer yang dijadiikan ukur oleh al-Khulafa al-Rasyidun
dan dari keyakinan ini mereka membawa persoalan itu kedalam musyawarah.
Sebagaimana Umar berdasarkan suara hati melepaskan kasus pencurian dari sanksi
potong tangan; (5) prinsip keterbukaan; dalam beberapa kebijakan
al-Khulafa al-Rasyidun terbuka untuk berlakunya aturan lain yang efektif untuk
dijadikan hukum (h. 130). al-Khulafa al-Rasyidun mendapat pengalaman sendiri
masa Rasulullah saw menggunakan banyak hukum jahiliah ketika aturan islam belum
menggantinya. Begitu juga banyak permasalahan yang penyelesaian melalui ‘urf
(kesimpulan akal yang jernih) (h. 131). Praktek Rasullullah saw dan al-Khulafa
al-Rasyidun dalam beberapa persoalan yang akhirnya diberikan pijakan filosofis
oleh ulama sebagai sumber hukum dengan nama ‘urf atau disebut juga hukum adat
(h. 133).
Metode Ijtihad
Dalam penetapan hukum al-Khulafa al-Rasyidun melakukannya dengan
berpariatif akan tetapi mereka memiliki metode teratur. Secara garis besar ada
dua bentuk, pertama: menafsirkan nass, kedua: membuat keputusan
terhadap kasus. Al-Khulafa al-Rasyidun menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai
dasar analogi bagi berlakunya ra’yi (h. 134). Muhammad Hasyim menyatakan
Alquran adalah titik awal penjelajahan al-Khulafa al-Rasyidun untuk mengetahui
ketentuan perkara yang dihadapi, tanpa terpaku pada pernyataan teks secara
eksklusif. Sayuthi mengatakan bahwa pada masa Abu Bakr jika beliu dihadapkan
satu kasus, beliau mencari dalam Alquran, jika tidak ditemukan maka mencari
dalam Sunnah, jika tidak dia temui maka ia akan menanya kepada kaum muslimin
apakah mereka ada menemukan hadis dalam masalah tersebut, jika juga tidak
menemukan maka ia mengajak kalangan ahli untuk bermusyawarah memutuskan perkara
tersebut. Metode seperti ini diikuti oleh tiga khalifah sesudahnya. (h. 135),
begitu juga dalam peradilan Umar pernah menuliskan surat kepada para hakim
metode menetapkan permasalahan. Hal seperti ini dilakukan sahabat secara hirarkis.
(h. 136).
Karakter Hukum Khalifah
Al-Khulafa al-Rasyidun sesungguhnya telah memiliki hukum di dalam akal
mereka, menyatu dalam karakter dan kepribadian, menjadi akhlak (h. 138). Dari
analisis para peneliti, al-Khulafa al-Rasyidun menetapkan hukum yang dihasilkan
dari pola intuitif (ilham). Wahyu tidak lain melainkan membantu akal untuk
menemukan kebenaran yang tidak terjangkau, meskipun akal dapat mengetahui
kebenrannya (h. 139). Temuan akal adalah ilham. Akal senantiasa merindukan
keadilan dan kejujuran. Jika hukum yang keluar dari keadilan dan kejujuran,
akan dapat merasakan tanpa terikat dengan doktrin apapun yang mengungkapnya (h.
140). Dua poin karakter hukum al-Khulafa al-Rasyidun yaitu, pertama, asas
kebenaran dan persamaan; kedua, asas kemulian dan keluhuran manusia (h.
141).
Bagi al-Khulafa al-Rasyidun hukum bersifat temporer, apabila terasakan
tidak cocok lagi maka harus dilakukan lagi perubahan. Mereformasi hukum sama
artinya membenahi masyarakat dalam sautu aturan kepada aturan yang lain atau
menuntunnya ke arah satu tujuan (h. 143). Pembaharuan bukan suatu anjuran tapi
kepastian yang akan terjadi, berkaitan dengan pemahaman kemanusiaan,
interpretasi relatif dalam ruang dan waktu. Pembaharuan bukan pada wahyu tetapi
pada pemikiran manusia yang senantiasa berubah (h. 144).
Ijtihad Bidang-bidang Agama
Ijtihad terhadap Alquran yang dimaksud disini
adalah kebijakan yang berkaitan dengan Alquran. Sebagaimana kebijakan mereka
untuk mendokumentasikan Alquran dalam artian pengumpulan dan penulisan dalam
satu naskah (h. 147). Ada tiga kebijakan dalam persoalan ini yaitu, penulisan
Alquran dalam satu mushaf (hal ini bermula dari kekhwatiran dari hilangnya
alquran karena banyaknya sahabat yang hafiz yang meninggal dunia dalam perang
Yamamah dan ini terjadi pada tahun 12 H masa Abu bakr), penyeragaman qiraat,
dan pemberian rambu-rambu tanda baca. Diantara kebijakan berkaitan dengan.
Motif dari usaha ini adalah untuk melindungi agama dari perbuatan orang yang
tidak suka kepadanya, dengan merusak orisinilitas Alquran (h. 148-156).
Ijtihad dalam bidang Ibadah ulama mebagi ibadah
dalam bagian mahdhah dan ghairu mahdhah. Ada beberapa contoh
yaitu (a) solat tarawih berjma’ah, ini merupakan kebijakan dari Umar; (b) menambah
azan jumat menjadi dua kali, hal ini dilakukan pada masa ustman; (c)
mendahulukan khutbah dari solat ied, juga pada masa Utsman; (h. 156-162)
Ijtihad tentang Zakat dalam ijtihad zakat ada
beberapa hal yaitu, (a) menetapkan hukum wajib zakat; (b) mengahapus hak
muallaf dari zakat, ini terjadi pada masa Umar. Dia melihat karena islam dengan
kemulian dan pada saat itu tidak membutuhkan lagi pendekatan ta’lif yang justru
merendahkan islam. Persoalan zakat dalam penafsiran al-khulafa al-Rasyidun
adalah persoalan kesiapan ber; agi kepada sesama, yang merupakan wujud dari akhlak
mulia yang digariskan Allah; (c) menambah unit barang yang dizakati (h.
162-170);
Ijtihad Dalam Bidang Hukum Keluarga
Ijtihad dalam persoalan perkawinan
Ada beberapa kebijakan yang dilakukan al-Khulafa al-Rasyidun dalam hal
perkawinan yaitu, (a) mencabut kebolehan menikahi wanita kitabiyah; ini
merupakan kebijakan Umar hal yang sangat jau berbeda dengan apa yang ditetapkan
sebelumnya hal ini demi pertimbangan kemaslahatan kaum muslimin secara umum,
sehingga dapat dijadikan kaedah universal dalam menjalankan pemerintahan.
Pertimbangan Umar karena kekhuatiran apabila mereka (laki-laki muslim) lebih
memilih ahl dzimmah kerana kecantikan, dan itu cukup menjadi alasan bencana
bagi wanita muslimah (h. 171). Mendengar apa yang dikatakan Umar para sahabat
lain tidak ada yang menolak pendapat Umar tersebut. Dari pola pemikiran sahabat
terlihat (1) kedewasaan dalam mempertimbangkan kepentingan masyarakat lebih
dominan dari sekedar kepatuhan pada aturan, yang dalam hal ini adalah aturan Tuhan;
(2) kesadaran hidup dalam kesatuan kepemimpinan negara juga sangat besar,
sehingga primordialis kearaban yang begitu menonjol pada masa sebelumnya
seperti hilang tanpa bekas sama sekali (h. 172). Adapun kebijakan melarang
menikahi wanita kitabiah ini didasari pada prinsip mempertimbangkan stabilitas
sosial dan stabilitas rumah tangga, serta perlindungan terhadap kaum wanita.
Bagaimana pun menurut Umar wanita muslimah pada masa itu lebih baik dari wanita
kitabiah, sebab mereka beriman dibawah bimbingan Rasulullah saw (h. 173).
Status wanita taklukkan yang menjadi budak dan kebolehan menikahi secara
resmi wanita kitabiyah yang berstatus dzimmi dan dapat dilihat dari dua tujuan,
yaitu: (1) solusi pemenuhan hajat biologis tentara di wilayah pendudukan; (2)
sebagai sistem pengembangan komunitas kaum muslimin di masa perintisan (h. 175).
(b) Ijtihad talak tiga; perkawinan secara pragmatis melahirkan
keindahan dan kedamaian, mempercepat tali persaudaraan, merekatkan hati yang
retak dan permusuhan, serta dapat menjanjikan suatu masa depan yang cerah dan
kuat. Islam menundukkan keberadaan suami dan isteri dalam rumah tangga adalah
sama dan seimbang baik hak maupun kewajiban, hanya saja derajat suami satu
tingkat diatas istri dengan kewajiban menanggung beban ekonomi dan kepemimpinan
dalam rumah tangga. (h. 178-179). Keputusan untuk bercerai tentu secara
psikologis menyakitkan bagi wanita. Keputusan untuk bercerai tidaklah dapat
ditinjau hanya dari aspek ketidak senangan pihak suami saja terhadap istri.
Umar melihat ini lebih dominan dalam keputusannya menjadikan talak tiga jatuh
tiga sekaligus, sebab luka batin yang sama akan terjadi berulang-ulang dengan
pengenduran talak satu demi satu, seakan harkat kemanusiaan seorang isteri
terabaikan (h. 183). (c) hak mengasuh anak; dalam satu hikayat
diceritakan bahwa Umar tidak ingin melepaskan anaknya dari pernikahan yang
akhirnya bercerai. Dan ketika itu Abu Bakar mengatakan “bau tubuh dan
kelembutan ibnya lebih baik buat si anak dari bau tubuh dan tabiat mu Umar” (h.
185-186). Ketelitian, kasih sayang, kesabaran adalah karakter terpenting yang
dibutuhkan seorang anak dari pengasuhnya, selain karakter yang lain, yang
seorang ibu mempunyai kelebihan dalam bidang ini dari ayah (h. 186). Sebagai
kepala negara Abu Bakr menunjukkan tanggung jawabnya yang besar terhadap
kelangsungan hidup pada seorang anak. Sebab merekalah yang akan menjadi
generasi penerus (h. 187).
Ijtihad dalam bidang Hukum warisan
Warisan adalah bagian yang terpenting dari pembicaraan hukum islam yang
disebut dengan faraid. Semasa al-Khulafa al-Rasyidun norma-norma hukum waris
terus bertambah dengan aturan ijtihadiah yang menggambarkan warisan sebagai
bagian dari struktur masyarakat yang senantiasa berubah sehingga atrurannyapun
terus berkembang (h. 188).
Dalam persfektif al-Khulafa al-Rasyidun keadilan adalah pesan dari hukum
waris. Abu Bakr mendudukan kakek pada posisi ayah dan cucu menempati posisi
anak (h. 189).
Ijtihad Dalam Bidang Politik dan Peradilan
Ijtihad Tentang Negara
Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam bidang ketata negaraan pada pokoknya
terangkum dalam tiga kerangka yaitu, menentukan corak pemerintahan, membentuk
struktur pemerintahan, dan membuat kebijakan program kerja. Pemerintahan pada
masa ini sangat brilian dan spektakuler, tidak hanya dalam hal pengembangan
teritorial. Yang terutama adalah dari segi filosofi bagaimana menentukan corak
pemerintahan yang berbasiskan suara rakyat, menentukan apa yang menjadi
landasan sebuah pemerintahan yang kuat, kemana tujuan dari sebuah kekuasaan,
dan lain sebagainya, sehingga pemerintahan mereka ideal (h. 193).
Beberapa ijtihad dalam bidang tata negara yaitu (1) pembentukan negara
dengan satu kepala pemerintahan; (h. 194) (2) pembentukan aparat
kenegaraan; (3) persoalan ghanimah; tanah milik pembesar yang
terbunuh atau melarikan diri disebut al-sawafi ini dimasukkan
dalam kas negara, tidak lagi dibagi kepada pasukan sebagaimana sebelumnya; (4) menetapkan penanggalan; para
ahli sejarah mencatat bahwa Umar bin Khattab orang pertama yang menetapkan
penanggalan dan menyetempelnya dengan tanah pada bulan Rabi’ul Awwal 16 H/639 M.
Said Ibn Musyyab mengatakan bahwa Umar menetapkan pada dua tahun setengah
kekhalifahannya, penetapannya terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 16 H atas
permusyawaratan denga ‘Ali (h. 233); (5) memberi bantuan untuk rakyat; sebagaimana
dijelaskan ada beberapa pemberian menurut klasifikasi sosialnya.
Ijtihad Dalam Bidang Peradilan
Orang Arab telah mengenal peradilan yang mereka sebut al-qadhâ secara
harfiah berarti memutuskan, menetapkan, memerintahkan melaksanakan,
menyempurnakan, menciptakan, memastikan, mewasiatkan, membunuh, menunaikan, dan
mengeluarkan. Pada zaman jahiliah belum ada hukum tertulis dan tidak ada
pengadilan, sengketa hukum diselesaikan dengan ‘urf oleh syekh, kahin,
dan hakam (h. 238). Di zaman ini terbentuk cikal bakal beberapa
institusi yang menjadi organ langsung pemerintahan negara seperti al-qadhâ,
al-mazahâlim, al-hisbah, dan al-hakam. Dalam masa al-Khulafa al-Rasyidun ada
beberapa ijtihad baru, yaitu (1) membentuk lembaga peradilan; Menurut
al-khulafa al-Rasyidun lembaga peradilan adalah lembaga resmi negara yang
mempunyai legalitas sendiri lepas dari campur tangan kepala negara. Ibn Khaldun
mengatakan ada dua tugas pokok yaitu memelihara agama dan siyasah dunia (h.
243). (2) mengangkat hakim; Ibn Khaldun mengatakan hakim tidak hanya
bertugas mengurus keputusan hukum tetapi juga fatwa tentang hak-hak kaum muslimin
secara umum; (3) membuat hukum acara; hukum acara mereka adalah
pembuktian harus diajukan pendakwa dan sumpah dilakukan terdakwa, hakim
melakukan pemeriksaan secara adil, lepas dari emosi, dan intimidasi dari
manapun, setiap tuntutan hak harus diringi dengan pembuktian, jika
pembuktiannya tidak kuat maka hukum boleh menghukumnya (h. 247).
Ijtihad dibidang Jinayat
Ada beberapa perubahan yang cukup signifikan diantaranya, (1) jarimah
khamar; (2) melepaskan hukum pencuri; sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. (h. 251-256).
Peta Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidûn
Dalam rentang waktu 30 tahun banyak pemikiran dan kebijakan yang mereka
munculkan. Hal ini terlihat begitu banyaknya umat islam berada di dunia ini (h.
257). Al-Khulafa al-Rasyidun adalah pemikir yang disegani tokoh kawan dan lawan.
Sepanjang sepak terjang mereka melahirkan banyak teori dalam bidang keilmuan,
yang dipengaruhi dimensi sosial. Dapat kita ambil contoh Ibn Khaldun melahirkan
teori ashabiah, teori siklus, teori evolusi, teori konflik, teori hilangnya
masyarakat tradisional yang dikembangkan sosiolog belakangan (h. 258).
Umar dan Ali adalah tokoh sentral yang banyak mewarnai prestasi
pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun, sayangnya estafet kepemimpinan al-Khulafa
al-Rasyidun diantarai oleh enam tahun kedua pemerintahan Utsman yang
menyebabkan evolusi pemikiran keislaman mengalami pelambatan, dan pada masa Ali
berubah arus politik menjadi liar dan akhirnya energi habis hanya mengurus
peperangan (h. 259).
Menurut Ian Robertson ada 8 faktor perubahan sosial yaitu: (1) lingkungan;
(2) populasi; (3) ide; (4) peristiwa; (5) inovasi kultur; (6) aktifitas manusi;
(7) faktor teknologi, sepanjang penelitian faktor ini tidak signifikan dalam
mempengaruhi kebijakan al-Khulafâ al-Rasyidûn; (h. 262)
Penutup
Kesimpulan dapat diambil dari bahasan ini adalah: ijtihad al-Khulafa
al-Rasyidun dalam menjalankan pemerintahan islam adalah pengaplikasian dari
nilai-nilai universal islam. Kedua: musyawarah adalah gaya al-Khulafa
al-Rasyidun dalam menurunkan berbagai kebijakan dan dalam musyawarah pola
pemikiran berkembang adalah bebas, tanpa tekanan dan pesanan, merupakan senyawa
dari pemahaman terhadap ayat-ayat kauniya dan kitabiyah. Ketiga: Norma
kewahyuan ditafsirkan dengan kecerdasan intelektual. Keempat: penyatuan
konsep akal dan wahyu melahirkan pola ijtihad. Kelima: metode dibentuk
menempatkan wahyu sebagai sumber alquran sebagai subtansi dan Sunnah sebagai
penjelas, dan ijtihad sebagai pisau analisis. Keenam: prinsip dan metode
pengaplikasian dengan perkembangan dan perubahan masyarakat yang dihadapi.
SARAN DAN KRITIK TERHADAP BUKU INI
Buku ini baik untuk dibaca para pengkaji hukum, khususnya hukum islam.
Al-Khulfa al-Rasyidun sebagai kelompok muslim yang paling dekat masanya dengan
Nabi saw, bahkan pernah semasa menunjukkan kepahaman mereka terhadap psikologis
Nabi saw dalam setiap memberikan ketetapan hukum, dan mereka sebagai saksi atas
setiap turunnya Alquran, menemukan perkembangan masyarakat dari segi sosiologi
dan pemikiran yang semakin kompleks dan tidak pernah ditemukan masa Rasulullah
saw. Dan ini harus diselesaikan oleh al-Khulafa al-Rasyidun.
Pertimbangan sosiologis dan keadaan lainnya dalam penetapan hukum menjadi
pertimbangan, jadi keadilan itu pada masa khulafa al-Rasyidun tidak hanya
digambarkan secara aturan normatif tapi juga secara sosiologis (keadaan yang
dihukumi tersebut).
Ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perkembangan hukum Indonesia
dalam pembentukan dan pembaharuan hukum nasional yang bernuansa religius.
Khususnya dalam hal pidana yang akhir-akhir ini mencuat cukup tajam.
Namun ada beberapa hal yang menurut penulis kurang tepat yaitu terdapat
ayat yang tidak sesuai dengan pembahasan (lihat: halaman 45), dan dalam
penjelasan pembagian harta warisan ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih
lanjut khususnya dalam pembagian waris bagi perempuan disana hanya dijelaskan bagian
2/3 dan ashobah, padahal ini juga dua orang perempuan tanpa ada saudaranya
laki-laki (2/3) dan ashobah jika bersama laki-laki (halaman 110). Kemudian
ditemukan pembahasan tentang Umar yang tidak memotong tangan pencuri karena
sebab alasan ekonomi yang pada saat itu sedang terjadi paceklik. Namun penulis
tidak menjelaskan lebih lanjut apakah keadaan itu berlanjut dan bagaiamana
kebijakan untuk meningkatkan kembali perekonomian.
Dalam pembahasan khalifah dijelaskan sebagai kepala pemerintahan dan
pengadilan, namun dalam pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa pada masa
al-Khulafa al-Rasyidun antara kekhalifahan dan qadhi dipisah (bandingkan:
halaman 243 dan 247). Dan juga halaman terakhir faktor yang dijelaskan ada
kekurangan satu dari delapan faktor.
0 Response to "Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat"