Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune
Subscribe to Zinmag Tribune by mail

Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat

18.40 Diposting oleh abdul karim munhte


بسم الله الرحمن الرحيم
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu, disebabkan kehidupan menusia yang secara teratur bergerak menuju kesempurnaan. Menurut Harun Nasution Perubahan identik dengan modernisme di Barat, yang mengadung arti fikirin, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi lama, dll untuk disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (h. 1).
Dalam sejarah semua norma hukum sesuai dengan ijtihad yang kontekstual yang terdokumentasi dalam ribuan judul dan jilid naskah kitab yang dinamis dan mewarnai penjuru dunia dan cukup hangat dibicarakan. Disana tidak ditemukan kesepakatan, kecauli sepakat untuk berbeda, dinamis, namun tidak merubah sumber aslinya sehingga timbul ijtihad yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
Khulafâ al-Râsyidûn adalah penafsir hukum pertama, semua ijtihad dibawah payung nilai dan norma Alquran dan Sunnah dengan pemahaman dan pertimbangan yang kontekstual (h.2). semasa mereka banyak kontribusi besar dalam evolusi pemikiran hukum islam yang dapat dipetakan dalam tiga hal, yaitu: (1) meneruskan pemerintahan Rasulullah saw dalam pemerintahan (dalam bidang politik dalam dan luar negeri); (2) berhasil dalam mengaplikasikan ajaran islam dalam kehidupan (dakwah bil fi’li dan dakwah bil qauli); (3) berhasil menciptakan konsep pola pemikiran hukum dan panduan memahami ajaran islam ketika berhadapan dengan tantangan dan perubahan zaman (h.3).
Hukum islam pada masa ini muncul dengan satu corak sendiri dalam dunia hukum yang pernah dikenal manusia, karna tidak hanya sekedar isis dari Alquran dan Sunnah, tetapi meluas kepada aturan dan pemikiran ummmat Islam yang setia dengan tuntunan Alquran dan Sunnah. Hukum islam tidak hanya yang ditentukan dalam catatan sejarah, tetapi juga mungkin untuk berkembang selama ummat Islam masih ada. Segala persoalan sosial yang berkaitan dengan masyarakat muslim dan diberikan aturannya dengan nilai-nilai keislaman, maka aturan tersebut adalah hukum islam, sehingga hukum ini tidak lagi sebagai identitas agama saja, tetapi juga identitas manusia (h. 6).
Al-Khulafâ al-Râsyidûn berhadapan dengan masyarakat yang mengalami perubahan dengan cepat. Penduduk Arab yang dahulu sebahagian hidup dalam duni nomaden (kehidupan berpindah), dan sebahagian agraris dan kaum pedagang, pada saat pemerintahan mereka telah berubah menjadi masyarakat elit dan kelas satu dibanding rakyat taklukan dan orang-orang yang baru masuk islam (h. 7).
Dalam pembahasan buku ini bertitik tola dari; (1) bagaimana yang dihadapi al-Khulafa al-Rasyidun, apa faktor penyebabnya, bagaimana cara menganalisisnya, dan bagaimana membuat ketetapannya. (2) siapakah al-khulafa al-rasyidun dan kedudukan mereka dalam bidang politik, bagaimana pengangkatannya, dimana kedudukannya, apa sistem pemerintahannya dan mengapa mereka disebut al-Khulafa’ al-Rasyidun (3) bidang apa saja ijtihad mereka (4) tentang hukum mengalami perubahan ketentuan kapan dan dimana terjadi perubahan;

Pengertian-pengertian dasar tentang hukum Islam, Perubahan Sosial, dan al-Khulafâ al-Râsyidûn.
Pengertian hukum islam.
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Hukm, yang bermakna itsbatu li amrin au nafyun ‘anhu (menetapkan sesuati kepada sesuatu atau menafikan sesuatu dari sesuatu), dan al-qadhâ bi al-‘adalah (memutuskan dengan adil). Hukum syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari Alquran dan Sunnah (h. 25). Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum islam. Pertama, syariat menurut Ibn Mazûr (630-771) diambil dari kata syara’a yang berarti mengambil air dengan mulut, tempat lalunya air, dan tempat lewat minimum yang ditegakkan orang. Menurut istilah beliau menjelaskan ketetapan Allah yang dituangkan dalam bentuk agama, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan sekalian perbuatan baik. Sedangkan ‘Âlî al-Jurjani (740-816) syar’u memiliki makna bayân, audah, dan izhar. Menurut istilah ialah perintah untuk menjalani pengabdian. Menurut al-Qurtubi (w. 671) syar’a berarti jalan besar, jalan menuju ke tempat air, dan jalan keselamatan. Menurut Zakaria al-Anshâri mengatakan bahwa syariah adalah membolehkan sesuatu atau melarangnya. Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa syariah adalah bagaimana cara untuk mengabdi pada Allah dan jalan mana yang ditempuh untuk pengabdian kepadanya (26-27).
Dari pengertian yang dijelaskan ulama diatas dapat disimpulkan bahwa syariah adalah ajaran dari Alquran dan Sunnah, pengajaran agama mengalami proses selama 23 tahun, dimulai sejak umur Rasulullah saw 40 tahun dan berakhir di usia 63 tahun. Sebagai sumber ajaran agama Alquran berisi akidah, akhlak, cerita masa lalu dan yang akan datang, doa-doa, puji-pujian, tamsil dan sebagainya. Dalam Alquran yang mengandung hukum ada 500 ayat menurut al-Ghâzali, al-Râzi, Ibn Jazzî al-Kilabi dan Ibn Qudamâh dari 6666 ayat. Namun ada juga perbedaan pendapat diantaranya Tantawaî Jauharî (150 ayat), Ahmad Amin (200 ayat), ‘Âlî al-Sabunî (229 ayat), Muhammad Ali al-Sâyis (232 ayat), Muhammad Khallaf (328 ayat), sedangkan yang memperkirakan diatas 500 ayat ialah Ibn Mubarak dan Abu Yusuf menyebutkan 900 dan 1.100 ayat. Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi saw baik tujuan maupun teknis pelaksanaanya. Itulah ajaran pokok agama islam untuk kepentingan manusia (h. 27-29).
Istilah dalam hukum islam juga ditemukan “fiqh” secara bahasa bermakna faham, mengerti, mengetahui, dan cerdas.  Term fiqh secara umum dipergunakan untuk memahami ajaran islam. Dalam istilah fiqh dimaknai beragam oleh ulama, diantaranya: Zakaria al-Anshari fiqh itu ialah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Al-Manawi (952-1031 H) yang bersifat syariat yang (jalan pengeluarannya) melalui ijtihad. Menurut Ibn Khaldun (732-808 H) fiqh adalah mengenal hukum-hukum Allah yang berkaitan denagn perbuatan mukllaf seperti wajib, haram, sunnat (nadb), makruh, dan boleh; yang dikeluarkan dari al-Kitab dan Sunnah. Apabila hukum-hukum itu dikeluarkan dari dalil tersebut, maka disebutlah dengan fiqh, dan beberapa pendapat lain (h. 30). Dalam kajian fiqh terdapat biadang akhirat dan dunia yang terbagi dalam tiga bagian pokok yaitu, bidang mu’amalah, munakahat, ‘uqubat (h. 31). Semua hukum ini didasarkan kepada dalil dari firman Allah dan Sunnah Rasulullah saw, ijma’, qiyas, dan apa saja yang menjadi sarana sampai kepada dalil sebagaimana yang diatur dalam ilmu Usûl fiqh, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan dari unit-unit dalil (h. 31). Menurut Abdul Qadir Audah bahwa hukum dibedakan antara hukum syariat Allah dan hukum yang dibuat manusia, adalah: pertama, syariat dari Allah mencerminkan pengetahuan Allah tanpa batas, sedangkan hukum yang dibuat manusia senantiasa berubah; kedua, hukum buatan manusia berkaitan dengan tuntutan sosial, karena itu dibatasi ruang dan waktu; ketiga, hukum dibuat manusia berdasarkan tradisi, dan sejarah, sehingga hukum bukan sebagai pimpinan dalam perilaku, tetapi alat untuk mencapai tujuan. Syariat itu sempurna dan abadi.
Istilah selanjutnya adalah ijtihad, yaitu usaha untuk memahami hukum dari dalilnya maupun melahirkan hukum. Muhammad Salam Madkur, ijtihad secara garis besar bertitik tolak pada pencarian pengertian dan maksud Alquran dan Sunnah, menganalogikan kasus baru kepada kasus lama yang sudah ada hukumnya dan mengeluarkan hukum baru yang sejalan dengan tujuan syariah. Ali Hasb Allah, mengataka bahwa seorang mujtahid haruslah menguasai tiga hal, yaitu (1) penguasaan bahasa; (2) penguasaan dalil; (3) pengetahuan tentang maqashid (h. 32).
Perkembangan dan perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat terjadi pula kasus baru yang berbeda yang tentunya memerlukan aturan pula. Muhammad Atho Mudzhar mengklasifikasikan hukum islam menurut naskah yang ditemui saat ini kedalam 4 kategori, (1) yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, sifatnya menyeluruh, kebal terhadap perubahan, tidak disebutkan masa berlakunya; (2) keputusan Peradilan Agama, yang bersifat dinamis, responsif, tidak meliputi semua aspek, hukumnya mengikat; (3) peraturan di negara-negara muslim yang bersifat mengikat, yang melibatkan ulama, fuqaha, cendikiawan, politisi, berlakunya biasa dibatasi dalam pembuatannya; (4) fatwa-fatwa ulama, sifatnya kasuistik, tidak mengikat, tidak menggunakan sistematika fiqh (h. 33).
Perubahan Masyarakat.
Sebelum membahas perubahan masyarakat baiknya memahami apa yang dimaksud dengan masyarakat.  Ada bebarapa defenisi yang diberikat yang berkaitan dengan masyarakat, yaitu (1) masyarakat merupakan kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup berkelompok; (2) masyarakat merupakan kumpulan unit dan istimewa yang hidup saling menopang; (3) manusia bersifat dengan kelemahan, segala sesuatu yang dibutuhkan tidak dapat diadakannya sendiri, tetapi bisa ditutupi dengan cara saling memberi; (4) masyarakat adalah bagian dari alam semesta, fenomena dari ciptaan Tuhan yang maha kuasa, dan senantiasa berubah. Allah telah menetapkan hukum baku pada alam yaitu senantiasa berubah, tidak ada yang tetap al-‘alam mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadits (alam itu berubah-rubah, setiap berubah baharu, maka alam itu baharu (h. 35).
Menurut Ian Robertson struktur masyarakat terdiri dari status (peranan), roles (norma bertingkah laku), groups (kelompok orang), dan institution (interaksi yang berada dalam jaringan). Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan masyarakat maka dapat kita fahami bahwa perubahan. Perubahan, perkembangan, dinamika, adalah kata-kata yang menggambarkan karakter alamiah manusia, yang dikatakan Zanab al-khudhari sebagai tabiat. Muhammad Syarîf Ahmad menyebutnya sunnah kehidupan (h. 35-36). Kehidupan berubah karena adanya perubahan pada saat adanya perbedaan waktu. Masyarakat dapat dipahami sebagai satu kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem yang bersifat kontiniu dan terikat. Ian Robertson menegaskan masyarakat memiliki tiga identitas yaitu, kesamaan tempat, interaksi, dan kesamaan kultur (h. 37).
Kultur adalah apa yang dihasilkan oleh manusia baik bersifat benda maupun pemikiran. Nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap segala sesuatu yang dianggap baik, penting, luhur, dan berdaya guna bagi kebaikan hidup bersama. Dari empat unsur ini terbentuklah apa yang dinamai oleh ilmu sosiologi dengan masyarakat, dan perubahan masyarakat terjadi apabila perubahan terjadi pada salah satu unsur yang empat ini. Menurut Pitr Sztompka perubahan terjadi di dalam atau mencakup sistem. Perubahan sosial bergerak dari sebuah analogi yang menyamakan masyarakat sebagai satu kesatuan yang terikat dalam sistem (h. 38-39).
Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya, struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentangan waktu. Dalam defenisi ini Robertson meletakkan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang dikaitakan dengan waktu. Perlu diingat bahwa persoalan waktu merupakan bagian penting dari sebuah perubahan (h. 39). Perspektif konflik bahwa perubahan pada sistem masyarakat adalah suatu sistem yang tidak stabil dari kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang saling bertentangan. Studi tentang perubahan sosial tidaklah mudah, banyak problem yang mengiringinya. Menurut ian Robertson ada dua alasan muncul problem, yaitu (1) perubahan hendakanya diketahui lebih dahulu keadaan sebelum terjadinya perubahan. (2) perubahan sosial terjadi tidak hanya dari satu faktor, tetapi bermacam-macam, menurutnya faktor-faktor penyebab perubahan sosial adalah lingkungan, populasi, ide, peristiwa, inovasi kultur, aktifitas manusia, dan teknologi (h. 41).
Dalam perspektif materialis, perubahan sosial terjadi karena adanya fator material yang menyebabkannya, diantaranya faktor ekonomi dan teknologi yang menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma. Menurut Weber perubahan berkaitan erat dengan keyakinan dan pemikiran. (h. 43).
Agama Islam erat kaitannya dengan dengan perubahan dalam ajarannya, dalam Alquran dalam surah al-Rahmnân/55:29, ayat ini terdapat dialog antara sahabat dengan Rasulullah saw yang berisi tiga aktivitas perubahan, yaitu: (1) perilaku individu; (2) masyarakat; (3) negara; (h. 45). Perkembangan dalam masyarakat terlihat dalam dua bentuk yaitu, perkembangan terencana (planned change) dan perkembangan tidak terencana (unplanned change). Bagi seorang agen perubahan ia harus mencermati sumber persoalan, mengetahui penyakitnya, dan melakukan terapi penyembuhan dengan bijak. Perkembangan yang mengarah kepada kemunduran disebut dengan kemungkaran, yaitu yang tidak diakui oleh norma luhur yang diakui hati nurani sebagaimana diajarkan agama, sendangakan perkembangan yang tidak baik disebut dengan ma’ruf. (h. 47). M. Quraishihab mengatakan bahwa perubahan dapat diterima oleh islam selama tidak bertentangan dengan nilai universal (h. 48). Dari konsep purbahan hukum, sepanjang sejarah hidup manusia tak pernah kosong memberikan perannya, namun senantiasa terikat ruang, waktu, dan kepentigan tiada yang terbatas (h. 49).
Khalifah dalam Islam
Sebuah kelompok haruslah memiliki dua hal yaitu: pemimpin dan aturan. Khalifah dalam pemerintahan adalah yang dipimpin sahabat yang empat yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali, sedangkan yang sesudahnya lebih tepat jika dikatakan sebagai Dinasti.

Perbahan masyarakat pada masa al-Khulafâ al-Râsydûn
Perubuahan sturutktur
Pada pembahasan buku ini mendiskusikan bagaimana al-Khulafa al-rasyidun menjalankan hidup dan pemerintahan pada saat masyarakat sendang mengalami masa proses perubahan yang cepat, berkah dari lahirnya islam. Sedapatnya pembahasan ini dibatasi pada tanah hijaz yang menjadi tanah lahir islam (h. 67). Kota Mekkah didirikan oleh Ibrahim, kemudian berkembang sampai anak cucunya yang dinamai Quraisy (h. 69). Qurays memberikan kekuasaan mutlak atas pengaturan Makkah kepada Qusay. Dalam amanatnya Qusay mendeskripsikan kepemimpinan di Mekkah pada empat kategori, yaitu: (1) kewenangan (riyasah) terhadap ka’bah; (2) mempertahankan kedaulatan Mekkah (liwa’); (3) menentukan tempat musyawarah (Dâr al-Nadwah); (4) mengurus kaum pendatang yang melaksanakan haji (siqâyah) (h. 70); di Madinah Nabi membentuk masyarakat baru dengan sistem baru dan struktur baru, yaitu: institusi mu’amalah, keluarga, perdamaian dan lainnya direformasi norma-normanya guna meraih status baru, sebagai orang muslim. Nabi saw kemudiaan mengajarkan hukum yang berbeda dengan hukum adat sebelumnya. Hukum adat yang mengatur tentang pertengkaran rumah tangga dan perceraian diperbaiki. Status poligami dan perkawinan yang terjadi dibatasi. Perceraian yang tidak mengenal batasan hanya sampai pada talak tiga (h. 76). Untuk menghindari kesenjangan antara si kaya dan si miskin nabi mewajibkan zakat berdasarkan tingkat kepemilikan, agar beban orang miskin dapat dibantu dan kecemburuan mereka dikurangi (h. 77).
Al-Khulafa al-Rasyidun tampil sebagai kepala pemerintahan mengembangkan apa yang telah diwariskan oleh Nabi saw. Pemasukan negara pada masa khalifah bersumber dari kharaj, sawafi, jizyah. Pelapisan masyarakat berkembang dari sistem yang diciptakan islam, selain sistem sosial alamiah dimana saja karena peranan ilmu dan kekayaan misalnya. Secara normatif agama membagi manusia kedalam dua kelompok kafir dan muslim. Tetapi tidak hanya normatif, juga defenitif berdasarkan keimanan dan patokan lainnya. Dapat dikelompokkan dari, al-sâbiqun al-awwalûn (oran yang lebih dahulu masuk islam), Muhâjirîn (kelas yang terdiri dari orang-orang Quraisy Mekkah yang beriman), Ansâr (kaum muslimin yang membantu Rasullah saw yang tinggal di Madinah), mawali (yang beriman yang bukan dari dua kelompok diatas), budak (dimasa Rasullah saw budak memiliki ½ hak dari yang merdeka, dan selalu dalam setiap hukuman yang diberi dari meninggalkan kewajiban adalah memerdekakan budak, hal ini menujukkan bahwa kemerdekaan adalah perjuangan yang dilakukan islam secara perlahan), zimmi (bermakna: aman. Dalam istilah orang non-muslim yang berada dikekuasaan muslim dan diberi perlindungan untuk menjalankan agamanya dengan kewajiban membayar jizyah, dan muallaf (pada umumnya mereka adalah orang yang berpengaruh ketika islam masih lemah mereka diberi tujungan agar tidak memusuhi islam) (h. 78-84). Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun berubah seiring dengan pengertian kepemimpinan puncak. Dimasa Abu Bakar negara dipimpin âmir yang disebut ‘khalifah’ dibantu menteri disebut dengan ‘wadzir’ (h. 85). Pada masa Umar beliau mengklarifikasikan rakyat dalam 5 tingkatan, (a) yang diberi 12000 dirham, termasuk isteri Nabi saw dan ‘Abbas paman Nabi saw; (b) diberi 5000 dirham, diberikan pada cucu Nabi saw dan pahlawan perang badar; (c) pemberian 4000 dirham, diberikan kepada Usamah ibn Zaid dan sahabat lain yang tidak ikut perang badar; (d) pemberian 3000 dirham, diberikan kepada Ibn ‘Umar dan anak Abu Salamah; (e) pemberian 2000 dirham, diberikan kepada Nadar ibn Anas dan anak-anak muhajir dan anshar; (f) 800 dirham diberikan untuk penduduk Makkah; (h. 86)
Perubahan tata nilai
Perubahan tata nilai selama pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun terlihat dari bergesernya cara pandang dan pola berbuat masyarakat dalam beberpa aspek penting. Seperti memandang manusia tidak lagi dari aspek kekabilahan tapi dalam persfektif keislaman (h. 87). Untuk semua hal penting diatas dapat diliha dari beberapa segi, (1) kepercayaan; pada masa pra-islam kepercayaan pagan disamping juga dahriyun (mempercayai bahwak kehidupan itu hanyalah waktu) tumbuh subur di jazirah arab, ketika islam masuk semua kepercayaan itu dihapuskan dan diganti dengan ketauhidan kepada Allah. Al-Khulafa al-Rasyidun melakukan tindakan keras dalam hal ini. Seperti Umar tidak mau menerima potongan kepala musuh, karna itu perbuatan orang non-muslim. Dalam persoalan ibadah Umar menyelenggaran tarawih dengan berjama’ah dan Ibn Umar sholat dhuha berjama’ah. Utsman memberikan toleransi bagi mereka yang terlambat solat jum’at dengan memberi waktu dengan menambah azan dua kali, dan mendahulukan khutbah dari solat Ied (h. 93); (2) norma kemulian; pada masa jahiliah ada dua tradisi terkemuka berdebat dalam satu majlis ditengahi oleh satu orang yang bijak (hakam: orang ahli, bijaksana atau dukun), untuk mencari siapa yang paling mulia (mufakharah dan munafirah) diliha dari segi kedermawanannya, keluasan padangan, keberanian, kebersihan biografis, kefasihan bicara, kebijakan (h. 93-94) dan kemudian dirubah oleh tradisi islam dengan meberikan ukuran kemuliaan adalah ketakwaan (h. 95); (3) penghargaan terhadap wanita; perubahan itu terlihat dari beberap faktor. Dari wa’du al-banat atau membunuh anak perempuan yang baru lahir. Perkawinan orang Arab, ada beberapa institusi nikah di arab, yaitu nikah maqt (nikah kebencian, yaitu hak anak untuk menikahi istri ayahnya atau mengawinkannya dengan orang lain dan mengambil maharnya, atau melarang menikah sampai ia memberi uang setelah sang ayah wafat), nikah ibtida’ (menyerahkan istri kepada orang lain agar disetubuhi sampai mengandung dan dikembalikan kepadanya dan anaknya menjadi anaknya yang sah), nikah syighar, nikah akhdan (poliandri: dapat bersuami lebih dari 10 orang dan ia dapat menunjuk siapa saja ayah dari anaknya atau bisa juga dengan ahlu qiyafah), nikah baghaya (wanita yang mempersilahkan siapa saja yang ingin menyetubuhinya dan anaknya juga ditentukan ahl qiyafah), nikah mut’ah (nikah dalam jangka waktu dengna imbalan sejumlah uang). Semua bentuk pernikahan yang ada dalam tradisi jahiliah dibatalkan walaupun sempat mut’ah diperbolehkan oleh Nabi saw (h. 89-101). Pembatasan Poligami, ummu walad, pada masa Umar dia melakukan perobakan melarang menjual budak yang telah melahirkan anak untuk tuannya, yang sebelumnya masih diperbolehkan. Wanita Ahl Kitab, pada masa Umar menikahi ahl kitab dilarang, sebab wanitah muslimah banyak dan pasti lebih baik, yang sebelumnya juga masih diperbolehkan. Talak Tiga Sekaligus, pada masa Umar juga memutuskan talak tiga yang diucapkan sekaligus jatuh sebagai talak tiga. Hak Nafkah Bathin Istri, pada masa Umar dia menetapkan bagi suami yang sibuk agar menetap pada setiap malam keempat untuk memberikan perhatian kepada istrinya (h. 102-103); (4) Ekonomi; pada masa pra-islam perdagangan hanya dua kali setahun. Dan pada masa islam dikembangkan menjadi antar kota, pulau dan negara, pada bulan-bulan tertentu pasar berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, ada 12 pasar yang dijelasn dalam buku ini (h. 104). Pada masa jahiliah dalam perdagan banyak terjadi tipu muslihat, seperti jual beli gharar atau dharar. Dan islam mamandang bahwa perdagangan adalah kesepakatan dan ia tidak akan terjadi bila tingkat tipu daya cukup besar (h. 105). Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun pola ekonomi semakin meningkat, penghasilan negara oleh Umar diperoleh dari kharaj yang selama ini tidak diekenal oleh bangsa Arab, ini dia adopsi dari masyarakat Persia, dan menetapkannya untuk semua jenis kegiatan ekonomi (h. 106). Jalur laut yang selama ini ditakuti menjadi salah satu lintas dagang dan militer masa Utsman. Khalifah pun senantiasa melakukan inspeksi pasar dan menegur orang yang membawa barang melebihi kapasitas kendaraannya, biasanya dilaksanakan oleh dewan hisbah yang mewakili khalifah (h. 106); (4) Sanksi Khamar; perubahan tata nilai telah jauh meninggalkan apa yang telah mereka temui pada masa Rasulullah saw. Di masa Rasulullah saw sanksi minum khmar hayat 40 kali pukulan dengan sandal, tongkat, atau ujung baju. Ketika masa Umar ditambah 80 kali dengan alat cambuk (h. 106), hal ini karena perubahan perilaku rakyat dan pejabatnya yang mulai longgar dalam persoalan khamar (h. 107) kemudian pada masa Ali seorang Najasyi meminum khamar di siang hari ramadhan maka Ali menahannya dan mencambuknya 80 kali, keesokan harinya ia lepaskan dan dia cambuk 20 kali lagi dan mengatakan “aku menambahimu 20 kali karena engkau sepele terhadap Allah dan berbuka di siang ramadhan (h. 109); (6) Warisan; dalam masyarakat Arab hukum dipengaruhi oleh kondisi alam mereka yang kering dan terik tanpa satu sungaipun yang dapat dijadikan sumber air, sehingga model kehidupan padang pasir melahirkan keadaan, memiliki rasa senasib sepenanggungan (‘asabiyah), tiap kelompok memerlukan banyak anggota, sekutu, dan teman, untuk bertahan hidup, persekutuan lewat nila jiwar, tabanni, wala’, qasam, dan muakhat dan persekutuan ini menjadi bagian dari institusi kewarisan Arab. (h. 109) dengna demikian warisan dapat disebabkan, nasab, perkawinan, perjanjian dan sumpah, tabanni (h. 110). Warisan pun berubah menjadi dikarenakan pertalian darah (jalur atas, bawah, samping), dan jalur pernikahan. Pada masa al-Khulafâ al-Râsyidûn tepatnya pada masa Abu Bakr mendudukan kakek pada posisi ayah ketika ayah tidak ada. Cucu menempati anak ketika tidak ada (h. 110). Di masa Abu Bakr saudara tidak mendapat warisan bila bersama kakek, karena kakek menduduki posisi ayah dan saudara terhijab ayah, maka saudara juga terhijab kakek (h. 111).

Prinsip dan Metode Ijtihad
Prinsip Ijtihad
Peranan al-Khulafâ al-Râsyidûn dalam masyarakat muslim periode sahabat adalah peranan yang mengintegrasikan tiga status, yaitu sahabat Nabi saw, mujtahid (intelektual) dan kepala negara. Peranan ini mempunyai pengaruh yang besar dan kewibawaan yang prestisius, sebab mereka adalah orang terbaik dari generasi terbaik (h. 113). (1) Prinsip Kebersamaan; prinsip kebersamaan dalam menetapkan hukum dengan pola musyawarah yang dilakukan oleh al-Khulafa al-Rasyidun dalam menyelesaikan masalah (h. 116). Musyawarah adalah pola bertindak yang sangat penting dalam menyelesaikan urusan, sebab dia mengajarkan kesetaraan status, pemaduan bermacam pikiran, tiap peserta memiliki hak suara sama, tidak mayoritas dan minoritas, memberikan kehormatan, memberi keluasan bagi manusia menggunakan akal (h. 117-18); (2) Prinsip Tujuan Hukum Yang Terarah; Salam Madkur berkesimpulan bahw ijtihad yang dilakukan al-Khulafâ al-Râsyidûn diarahkan kepada mencapai sasaran pokok dari hukum (maqâshîd syari’ah) (h. 120). Kemaslahatan untuk melindungi manusia, tegaknya agama secara sempurna dan terciptanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat. Menurut Muhammad Khalid Masud hukum islam senantiasa berhadapan dengna perubahan dan perkembangan. Atho Mudzar menambahkan bahwa hukum islam tidak boleh kebal dari perubahan (h. 121). Kemaslahatan terbagi dalam tiga kategori menurut ulama yaitu, maslahat dharuriyat (sangat penting dan harus ada), maslahat hajjiyah(sesuatu yang dibutuhkan untuk memperoleh kelapangan), maslahat tahsiniyah(mengambil apa yang paling etis dan estetis); (3) prinsip rasional; pada umumnya al-Khalafa al-Rasyidun melakukan penetapan hukum melalui nass lalu menjadikannya premis deduktif untuk menjaring kasus baru dengan istilah asybah wa al-amtsal. Bagi al-Khalafa al-Rasyidun nass adalah pedoman akal mencari petunjuk (h. 126). Ali selama pemerintahan Abu Bakr sangat aktif dalam setiap musyawarah (h. 128). Pada zaman ini al-Khulafa al-Rasridun melakukan ijtihad secara bebas dan bertanggung jawab (h. 129). Suara hati adalah barometer yang dijadiikan ukur oleh al-Khulafa al-Rasyidun dan dari keyakinan ini mereka membawa persoalan itu kedalam musyawarah. Sebagaimana Umar berdasarkan suara hati melepaskan kasus pencurian dari sanksi potong tangan; (5) prinsip keterbukaan; dalam beberapa kebijakan al-Khulafa al-Rasyidun terbuka untuk berlakunya aturan lain yang efektif untuk dijadikan hukum (h. 130). al-Khulafa al-Rasyidun mendapat pengalaman sendiri masa Rasulullah saw menggunakan banyak hukum jahiliah ketika aturan islam belum menggantinya. Begitu juga banyak permasalahan yang penyelesaian melalui ‘urf (kesimpulan akal yang jernih) (h. 131). Praktek Rasullullah saw dan al-Khulafa al-Rasyidun dalam beberapa persoalan yang akhirnya diberikan pijakan filosofis oleh ulama sebagai sumber hukum dengan nama ‘urf atau disebut juga hukum adat (h. 133).
Metode Ijtihad
Dalam penetapan hukum al-Khulafa al-Rasyidun melakukannya dengan berpariatif akan tetapi mereka memiliki metode teratur. Secara garis besar ada dua bentuk, pertama: menafsirkan nass, kedua: membuat keputusan terhadap kasus. Al-Khulafa al-Rasyidun menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai dasar analogi bagi berlakunya ra’yi (h. 134). Muhammad Hasyim menyatakan Alquran adalah titik awal penjelajahan al-Khulafa al-Rasyidun untuk mengetahui ketentuan perkara yang dihadapi, tanpa terpaku pada pernyataan teks secara eksklusif. Sayuthi mengatakan bahwa pada masa Abu Bakr jika beliu dihadapkan satu kasus, beliau mencari dalam Alquran, jika tidak ditemukan maka mencari dalam Sunnah, jika tidak dia temui maka ia akan menanya kepada kaum muslimin apakah mereka ada menemukan hadis dalam masalah tersebut, jika juga tidak menemukan maka ia mengajak kalangan ahli untuk bermusyawarah memutuskan perkara tersebut. Metode seperti ini diikuti oleh tiga khalifah sesudahnya. (h. 135), begitu juga dalam peradilan Umar pernah menuliskan surat kepada para hakim metode menetapkan permasalahan. Hal seperti ini dilakukan sahabat secara hirarkis. (h. 136).
Karakter Hukum Khalifah
Al-Khulafa al-Rasyidun sesungguhnya telah memiliki hukum di dalam akal mereka, menyatu dalam karakter dan kepribadian, menjadi akhlak (h. 138). Dari analisis para peneliti, al-Khulafa al-Rasyidun menetapkan hukum yang dihasilkan dari pola intuitif (ilham). Wahyu tidak lain melainkan membantu akal untuk menemukan kebenaran yang tidak terjangkau, meskipun akal dapat mengetahui kebenrannya (h. 139). Temuan akal adalah ilham. Akal senantiasa merindukan keadilan dan kejujuran. Jika hukum yang keluar dari keadilan dan kejujuran, akan dapat merasakan tanpa terikat dengan doktrin apapun yang mengungkapnya (h. 140). Dua poin karakter hukum al-Khulafa al-Rasyidun yaitu, pertama, asas kebenaran dan persamaan; kedua, asas kemulian dan keluhuran manusia (h. 141).
Bagi al-Khulafa al-Rasyidun hukum bersifat temporer, apabila terasakan tidak cocok lagi maka harus dilakukan lagi perubahan. Mereformasi hukum sama artinya membenahi masyarakat dalam sautu aturan kepada aturan yang lain atau menuntunnya ke arah satu tujuan (h. 143). Pembaharuan bukan suatu anjuran tapi kepastian yang akan terjadi, berkaitan dengan pemahaman kemanusiaan, interpretasi relatif dalam ruang dan waktu. Pembaharuan bukan pada wahyu tetapi pada pemikiran manusia yang senantiasa berubah (h. 144).

Ijtihad Bidang-bidang Agama
Ijtihad terhadap Alquran yang dimaksud disini adalah kebijakan yang berkaitan dengan Alquran. Sebagaimana kebijakan mereka untuk mendokumentasikan Alquran dalam artian pengumpulan dan penulisan dalam satu naskah (h. 147). Ada tiga kebijakan dalam persoalan ini yaitu, penulisan Alquran dalam satu mushaf (hal ini bermula dari kekhwatiran dari hilangnya alquran karena banyaknya sahabat yang hafiz yang meninggal dunia dalam perang Yamamah dan ini terjadi pada tahun 12 H masa Abu bakr), penyeragaman qiraat, dan pemberian rambu-rambu tanda baca. Diantara kebijakan berkaitan dengan. Motif dari usaha ini adalah untuk melindungi agama dari perbuatan orang yang tidak suka kepadanya, dengan merusak orisinilitas Alquran (h. 148-156).
Ijtihad dalam bidang Ibadah ulama mebagi ibadah dalam bagian mahdhah dan ghairu mahdhah. Ada beberapa contoh yaitu (a) solat tarawih berjma’ah, ini merupakan kebijakan dari Umar; (b) menambah azan jumat menjadi dua kali, hal ini dilakukan pada masa ustman; (c) mendahulukan khutbah dari solat ied, juga pada masa Utsman; (h. 156-162)
Ijtihad tentang Zakat dalam ijtihad zakat ada beberapa hal yaitu, (a) menetapkan hukum wajib zakat; (b) mengahapus hak muallaf dari zakat, ini terjadi pada masa Umar. Dia melihat karena islam dengan kemulian dan pada saat itu tidak membutuhkan lagi pendekatan ta’lif yang justru merendahkan islam. Persoalan zakat dalam penafsiran al-khulafa al-Rasyidun adalah persoalan kesiapan ber; agi kepada sesama, yang merupakan wujud dari akhlak mulia yang digariskan Allah; (c) menambah unit barang yang dizakati (h. 162-170);
Ijtihad Dalam Bidang Hukum Keluarga
Ijtihad dalam persoalan perkawinan
Ada beberapa kebijakan yang dilakukan al-Khulafa al-Rasyidun dalam hal perkawinan yaitu, (a) mencabut kebolehan menikahi wanita kitabiyah; ini merupakan kebijakan Umar hal yang sangat jau berbeda dengan apa yang ditetapkan sebelumnya hal ini demi pertimbangan kemaslahatan kaum muslimin secara umum, sehingga dapat dijadikan kaedah universal dalam menjalankan pemerintahan. Pertimbangan Umar karena kekhuatiran apabila mereka (laki-laki muslim) lebih memilih ahl dzimmah kerana kecantikan, dan itu cukup menjadi alasan bencana bagi wanita muslimah (h. 171). Mendengar apa yang dikatakan Umar para sahabat lain tidak ada yang menolak pendapat Umar tersebut. Dari pola pemikiran sahabat terlihat (1) kedewasaan dalam mempertimbangkan kepentingan masyarakat lebih dominan dari sekedar kepatuhan pada aturan, yang dalam hal ini adalah aturan Tuhan; (2) kesadaran hidup dalam kesatuan kepemimpinan negara juga sangat besar, sehingga primordialis kearaban yang begitu menonjol pada masa sebelumnya seperti hilang tanpa bekas sama sekali (h. 172). Adapun kebijakan melarang menikahi wanita kitabiah ini didasari pada prinsip mempertimbangkan stabilitas sosial dan stabilitas rumah tangga, serta perlindungan terhadap kaum wanita. Bagaimana pun menurut Umar wanita muslimah pada masa itu lebih baik dari wanita kitabiah, sebab mereka beriman dibawah bimbingan Rasulullah saw (h. 173).
Status wanita taklukkan yang menjadi budak dan kebolehan menikahi secara resmi wanita kitabiyah yang berstatus dzimmi dan dapat dilihat dari dua tujuan, yaitu: (1) solusi pemenuhan hajat biologis tentara di wilayah pendudukan; (2) sebagai sistem pengembangan komunitas kaum muslimin di masa perintisan (h. 175).
(b) Ijtihad talak tiga; perkawinan secara pragmatis melahirkan keindahan dan kedamaian, mempercepat tali persaudaraan, merekatkan hati yang retak dan permusuhan, serta dapat menjanjikan suatu masa depan yang cerah dan kuat. Islam menundukkan keberadaan suami dan isteri dalam rumah tangga adalah sama dan seimbang baik hak maupun kewajiban, hanya saja derajat suami satu tingkat diatas istri dengan kewajiban menanggung beban ekonomi dan kepemimpinan dalam rumah tangga. (h. 178-179). Keputusan untuk bercerai tentu secara psikologis menyakitkan bagi wanita. Keputusan untuk bercerai tidaklah dapat ditinjau hanya dari aspek ketidak senangan pihak suami saja terhadap istri. Umar melihat ini lebih dominan dalam keputusannya menjadikan talak tiga jatuh tiga sekaligus, sebab luka batin yang sama akan terjadi berulang-ulang dengan pengenduran talak satu demi satu, seakan harkat kemanusiaan seorang isteri terabaikan (h. 183). (c) hak mengasuh anak; dalam satu hikayat diceritakan bahwa Umar tidak ingin melepaskan anaknya dari pernikahan yang akhirnya bercerai. Dan ketika itu Abu Bakar mengatakan “bau tubuh dan kelembutan ibnya lebih baik buat si anak dari bau tubuh dan tabiat mu Umar” (h. 185-186). Ketelitian, kasih sayang, kesabaran adalah karakter terpenting yang dibutuhkan seorang anak dari pengasuhnya, selain karakter yang lain, yang seorang ibu mempunyai kelebihan dalam bidang ini dari ayah (h. 186). Sebagai kepala negara Abu Bakr menunjukkan tanggung jawabnya yang besar terhadap kelangsungan hidup pada seorang anak. Sebab merekalah yang akan menjadi generasi penerus (h. 187).
Ijtihad dalam bidang Hukum warisan
Warisan adalah bagian yang terpenting dari pembicaraan hukum islam yang disebut dengan faraid. Semasa al-Khulafa al-Rasyidun norma-norma hukum waris terus bertambah dengan aturan ijtihadiah yang menggambarkan warisan sebagai bagian dari struktur masyarakat yang senantiasa berubah sehingga atrurannyapun terus berkembang (h. 188).
Dalam persfektif al-Khulafa al-Rasyidun keadilan adalah pesan dari hukum waris. Abu Bakr mendudukan kakek pada posisi ayah dan cucu menempati posisi anak (h. 189).

Ijtihad Dalam Bidang Politik dan Peradilan
Ijtihad Tentang Negara
Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam bidang ketata negaraan pada pokoknya terangkum dalam tiga kerangka yaitu, menentukan corak pemerintahan, membentuk struktur pemerintahan, dan membuat kebijakan program kerja. Pemerintahan pada masa ini sangat brilian dan spektakuler, tidak hanya dalam hal pengembangan teritorial. Yang terutama adalah dari segi filosofi bagaimana menentukan corak pemerintahan yang berbasiskan suara rakyat, menentukan apa yang menjadi landasan sebuah pemerintahan yang kuat, kemana tujuan dari sebuah kekuasaan, dan lain sebagainya, sehingga pemerintahan mereka ideal (h. 193).
Beberapa ijtihad dalam bidang tata negara yaitu (1) pembentukan negara dengan satu kepala pemerintahan; (h. 194) (2) pembentukan aparat kenegaraan; (3) persoalan ghanimah; tanah milik pembesar yang terbunuh atau melarikan diri disebut al-sawafi ini dimasukkan dalam kas negara, tidak lagi dibagi kepada pasukan sebagaimana  sebelumnya; (4) menetapkan penanggalan; para ahli sejarah mencatat bahwa Umar bin Khattab orang pertama yang menetapkan penanggalan dan menyetempelnya dengan tanah pada bulan Rabi’ul Awwal 16 H/639 M. Said Ibn Musyyab mengatakan bahwa Umar menetapkan pada dua tahun setengah kekhalifahannya, penetapannya terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 16 H atas permusyawaratan denga ‘Ali (h. 233); (5) memberi bantuan untuk rakyat; sebagaimana dijelaskan ada beberapa pemberian menurut klasifikasi sosialnya.
Ijtihad Dalam Bidang Peradilan
Orang Arab telah mengenal peradilan yang mereka sebut al-qadhâ secara harfiah berarti memutuskan, menetapkan, memerintahkan melaksanakan, menyempurnakan, menciptakan, memastikan, mewasiatkan, membunuh, menunaikan, dan mengeluarkan. Pada zaman jahiliah belum ada hukum tertulis dan tidak ada pengadilan, sengketa hukum diselesaikan dengan ‘urf oleh syekh, kahin, dan hakam (h. 238). Di zaman ini terbentuk cikal bakal beberapa institusi yang menjadi organ langsung pemerintahan negara seperti al-qadhâ, al-mazahâlim, al-hisbah, dan al-hakam. Dalam masa al-Khulafa al-Rasyidun ada beberapa ijtihad baru, yaitu (1) membentuk lembaga peradilan; Menurut al-khulafa al-Rasyidun lembaga peradilan adalah lembaga resmi negara yang mempunyai legalitas sendiri lepas dari campur tangan kepala negara. Ibn Khaldun mengatakan ada dua tugas pokok yaitu memelihara agama dan siyasah dunia (h. 243). (2) mengangkat hakim; Ibn Khaldun mengatakan hakim tidak hanya bertugas mengurus keputusan hukum tetapi juga fatwa tentang hak-hak kaum muslimin secara umum; (3) membuat hukum acara; hukum acara mereka adalah pembuktian harus diajukan pendakwa dan sumpah dilakukan terdakwa, hakim melakukan pemeriksaan secara adil, lepas dari emosi, dan intimidasi dari manapun, setiap tuntutan hak harus diringi dengan pembuktian, jika pembuktiannya tidak kuat maka hukum boleh menghukumnya (h. 247).
Ijtihad dibidang Jinayat
Ada beberapa perubahan yang cukup signifikan diantaranya, (1) jarimah khamar; (2) melepaskan hukum pencuri; sebagaimana dijelaskan sebelumnya. (h. 251-256).
Peta Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidûn
Dalam rentang waktu 30 tahun banyak pemikiran dan kebijakan yang mereka munculkan. Hal ini terlihat begitu banyaknya umat islam berada di dunia ini (h. 257). Al-Khulafa al-Rasyidun adalah pemikir yang disegani tokoh kawan dan lawan. Sepanjang sepak terjang mereka melahirkan banyak teori dalam bidang keilmuan, yang dipengaruhi dimensi sosial. Dapat kita ambil contoh Ibn Khaldun melahirkan teori ashabiah, teori siklus, teori evolusi, teori konflik, teori hilangnya masyarakat tradisional yang dikembangkan sosiolog belakangan (h. 258).
Umar dan Ali adalah tokoh sentral yang banyak mewarnai prestasi pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun, sayangnya estafet kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun diantarai oleh enam tahun kedua pemerintahan Utsman yang menyebabkan evolusi pemikiran keislaman mengalami pelambatan, dan pada masa Ali berubah arus politik menjadi liar dan akhirnya energi habis hanya mengurus peperangan (h. 259).
Menurut Ian Robertson ada 8 faktor perubahan sosial yaitu: (1) lingkungan; (2) populasi; (3) ide; (4) peristiwa; (5) inovasi kultur; (6) aktifitas manusi; (7) faktor teknologi, sepanjang penelitian faktor ini tidak signifikan dalam mempengaruhi kebijakan al-Khulafâ al-Rasyidûn; (h. 262)

Penutup
Kesimpulan dapat diambil dari bahasan ini adalah: ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam menjalankan pemerintahan islam adalah pengaplikasian dari nilai-nilai universal islam. Kedua: musyawarah adalah gaya al-Khulafa al-Rasyidun dalam menurunkan berbagai kebijakan dan dalam musyawarah pola pemikiran berkembang adalah bebas, tanpa tekanan dan pesanan, merupakan senyawa dari pemahaman terhadap ayat-ayat kauniya dan kitabiyah. Ketiga: Norma kewahyuan ditafsirkan dengan kecerdasan intelektual. Keempat: penyatuan konsep akal dan wahyu melahirkan pola ijtihad. Kelima: metode dibentuk menempatkan wahyu sebagai sumber alquran sebagai subtansi dan Sunnah sebagai penjelas, dan ijtihad sebagai pisau analisis. Keenam: prinsip dan metode pengaplikasian dengan perkembangan dan perubahan masyarakat yang dihadapi.

SARAN DAN KRITIK TERHADAP BUKU INI
Buku ini baik untuk dibaca para pengkaji hukum, khususnya hukum islam. Al-Khulfa al-Rasyidun sebagai kelompok muslim yang paling dekat masanya dengan Nabi saw, bahkan pernah semasa menunjukkan kepahaman mereka terhadap psikologis Nabi saw dalam setiap memberikan ketetapan hukum, dan mereka sebagai saksi atas setiap turunnya Alquran, menemukan perkembangan masyarakat dari segi sosiologi dan pemikiran yang semakin kompleks dan tidak pernah ditemukan masa Rasulullah saw. Dan ini harus diselesaikan oleh al-Khulafa al-Rasyidun.
Pertimbangan sosiologis dan keadaan lainnya dalam penetapan hukum menjadi pertimbangan, jadi keadilan itu pada masa khulafa al-Rasyidun tidak hanya digambarkan secara aturan normatif tapi juga secara sosiologis (keadaan yang dihukumi tersebut).
Ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perkembangan hukum Indonesia dalam pembentukan dan pembaharuan hukum nasional yang bernuansa religius. Khususnya dalam hal pidana yang akhir-akhir ini mencuat cukup tajam.
Namun ada beberapa hal yang menurut penulis kurang tepat yaitu terdapat ayat yang tidak sesuai dengan pembahasan (lihat: halaman 45), dan dalam penjelasan pembagian harta warisan ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut khususnya dalam pembagian waris bagi perempuan disana hanya dijelaskan bagian 2/3 dan ashobah, padahal ini juga dua orang perempuan tanpa ada saudaranya laki-laki (2/3) dan ashobah jika bersama laki-laki (halaman 110). Kemudian ditemukan pembahasan tentang Umar yang tidak memotong tangan pencuri karena sebab alasan ekonomi yang pada saat itu sedang terjadi paceklik. Namun penulis tidak menjelaskan lebih lanjut apakah keadaan itu berlanjut dan bagaiamana kebijakan untuk meningkatkan kembali perekonomian.
Dalam pembahasan khalifah dijelaskan sebagai kepala pemerintahan dan pengadilan, namun dalam pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa pada masa al-Khulafa al-Rasyidun antara kekhalifahan dan qadhi dipisah (bandingkan: halaman 243 dan 247). Dan juga halaman terakhir faktor yang dijelaskan ada kekurangan satu dari delapan faktor.


You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Silakan beri komentar!