Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(Ali Imran [3]: 159)
A. Meta Wacana
Undang-undang bagi sebuah negara demokratis sangat
diperlukan, sebab jikalau tidak, maka yang terjadi adalah anarkisme. Oleh
karena itu, dalam prinsip negara demokrasi, pemerintah adalah yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[2] Sebagai mana kita ketahui
bahwa prinsip negara demokrasi adalah kebebasan dan kemerdekaan, oleh karena
itu indikasi untuk penyalahgunaan kebebasan dan kemerdekaan tersebut sangat
besar, karna kebebasan pada umumnya sulit untuk terkendali. Dengan demikian
sebaliknya, jika itu tidak ada hukum yang mengatur maka yang akan terjadi
adalah apa yang telah diprediksikan oleh Plato
negara tersebut akan kacau atau
disebut dengan negara anarkhi.[3]
Menanggapi hal tersebut muncullah beberapa teori
agar keinginan dapat tercapai, yaitu rakyat yang berdaulat, namun tidak berarti
melakukan semaunya saja (tidak terkontrol). Diantaranya adalah Contitutional
Democratiche atau Demokrasi Rechtstaat, disamping itu juga ada
konsep the rule of law, yang menurut penulis dapat dikategorikan sebagai
negara yang berasaskan kepada hukum. Selain itu ada juga konsep nokrasi yang
berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Di Amerika Serikat kita tau bahwa ada jargon “the Rule of Law,
and not of Man”.[4]
Dalam UUD 1945 amandemen ke empat pasal 1 ayat (2)
menjelaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Inilah yang dimaksud dengan negara demokrasi, kemudia pada
ayat (3) dijelaskan, negara Indonesia adalah negara hukum. Dari kedua ayat ini
dapat kita pahami bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yang
berasaskan pada hukum. Oleh karena itu dalam setiap aktifitas bermasyarakat dan
bernegara semuanya didasarkan kepada hukum yang berlaku.
Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia
menganut sistem Eropah Kontinenantal yang menganut civil law,
salah satu ciri hukumnya adalah tertulis yang dibuat oleh lembaga berwenang, yang
salah satu konsep dalam penegakannya bermuara pada “kepastian hukum”. Berbeda
dengan Anglo Saxon yang berdasarkan pada common of law yang
mengutamakan yurisprudensi atau hukum-hukum tak tertulis, yang muara penegakan
hukumnya adalah “rasa keadilan”.[5]
Pembentukan norma hukum oleh Presiden dan DPR RI
ke dalam sebuah UU yang disahkan oleh anggota legislatif atau peraturan lain
untuk mendukung UU tersebut menjadi penting, demi kepastian hukum. Sebab, pengkodifikasian
norma-norma yang ada dalam masyarakat jika tidak terkodifikasi, maka kepastian
hukum sulit untuk terwujud.
Norma hukum sebagaiamana dijelaskan sebelumnya
harus memperhatikan apa yang ada dalam diri masyarakat. Hukum yang baik adalah
hukum yang tumbuh dan hidup di masyarakat. Jikalau hukum yang disahkan oleh DPR
RI tidak sejalan dengan kehidupan masyarakat maka itu tidak akan berjalan
dengan baik. Bahkan Thomas Aquinas mengatakan bahwa apabila hukum tertulis
tidak sejalan dengan hukum alam maka hukum alamlah yang disahkan.[6] Maria Farida Indrati S
berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang
dilakukan dengan mengetengahkan peran serta masyarakat.[7]
Oleh karena itu melibatkan masyarakat dalam
pembentukan UU adalah suatu hal yang sangat penting, dan ini pulalah yang
menjadi alasan mengapa penulisan makalah ini dilakukan. Dalam pembahasan
makalah ini ada beberapa poin yang akan dibahas, yaitu: pengertian partisipasi,
masyarakat dan hukum, landasan hukum partisipasi, bentuk dan cara partisipasi.
B. PENGERTIAN
PARTISIPASI MASYARAKAT
Partisipasi dalam
kamus bahasa Indonesia partisipasi diartikan sebagai perihal turut berperan
dalam suatu kegiatan, keikut sertaan, atau peran serta.[8] Tidak jauh berbeda dalam
Kamus Ilmiah Populer, partisipasi diartikan sebagai pengambilan bagian
(didalamnya); keikut sertaan; peranserta; penggabungan diri (menjadi peserta).[9] Sendangkan orangnya
disebut dengan partisipan.
Dalam
pemberian judul UU No. 10/2004 tentang peraturan pembentukan perundangan tidak
berbeda dengan UU No. 12/2011 yaitu dengan judul partisipasi masyarakat. Akan
tetapi jikalau kita melihat buku Maria Farida dalam pembahasan ini, dia memberi
judul Peran Serta Masyarakat.
Sedangkan
masyarakat adalah kumpulan dari pada orang-orang. Akan tetapi yang perlu
dipertanyakan dalam pembahasan ini adalah apakah semua masyarakat dapat
berpartisipasi? Dalam pasal 96 ayat (3) UU No. 12/2011 menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan masyarakat adalah adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian dalam penjelasannya yang
termasuk dalam kelompok ini adalah termasuk
dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi
masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Maria Farida Indrati S berpendapat bahwa yang di maksud
masyarakat dalam hal ini adalah orang pada umumnya terutama masyarakat yang
“rentan” terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga yang terkait,
atau setiap lembaga swadaya masyarakat yang terkait.[10] Dari
penjelasan di atas penulis melihat bahwa masyarakat dalam hal ini adalah secara
keseluruhan, oleh karena itu apabila nanti ada masukan dan kritikan terhadap
RUU tidak hanya mempertimbangkan sebagian golongan saja, yaitu mereka yang
tergabung dalam sebuah kelompok atau organisasi tertentu. Sehingga
perseoranganpun dapat memberikan masukan dan masukan tersebut harus
dipertimbangkan, sejauh yang memberikan masukan tersebut adalah orang yang kridibel.
Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pejabat
Legislatif dan Eksekutif dapat dikatakan sebagai masyarakat. Khususnya anggota
DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota begitu juga dengan DPD, sebab mereka
adalah perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Secara teori suara mereka adalah
suara rakyat. Walaupun kita melihat sekarang ini dapat dikatakan suara mereka
adalah suara mereka, bukan lagi suara rakyat. Namun, thesis ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
C. MASYARAKAT DAN
HUKUM
Pembahasan ini menjadi penting karena yang akan
menjalani hukum yang telah dipositivisasi adalah masyarakat itu sendiri,
sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, efektifitas hukum tidak dapat
dilepaskan dengan masyarakat itu sendiri. Freudman mengatakan bahwa efektifitas
hukum terkait erat dengan tiga hal, yaitu: (a) aturan hukumnya; (b) penegak
hukum; dan (c) budaya hukum;
Perlu kita ingat juga bahwa hukum itu tidak hanya
yang ada dalam pengadilan atau teks (law in books) saja. Akan tetapi juga
terdapat di dalam masyarakat (law in action).[11]
Hukum dan masyarakat tidak akan pernah dapat
dipisahkan, keduanya adalah bak dua sisi mata uang, yang apabila satunya tidak
ada maka tidak akan sempurna. Hukum adalah cerminan dari masyarakat dan
masyarakat berjalan dengan hukum. Pasalnya apabila tidak ada hukum maka tidak
akan pernah terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan
masyarakat terus berjalan seiring bergantinya waktu dan peradaban, dengan
adanya perubahan itu akan mempengaruhi pada keadaan hukum itu sendiri.
Sebagaiamana yang dikatakan oleh Maxs Weber perubahan hukum sesuai dengan
perubahan yang terjadi pada sistem sosial dari masyarakat yang mendukung sistem
yang bersangkutan.[12] Dalam diskursus hukum
islam juga dikenal dengan kaidah,
الأحكام يتغسر بتغسر الأمكان و لأزمنة[13]
Dengan
demikian apabila hukum itu diinginkan dapat berjalan dengan baik adalah harus
sesuai dengan hukum yang ada dimasyarakat, sebab hal ini terkait dengan budaya
hukum masyarakat, sebagaimana dikatakan di atas adalah faktor yang memberi
pengaruh pada efektifitas hukum. Disinalah perlunya penelitian hukum yang
disebut dengan penelitian hukum sociologis atau empiris. Dari tahap inilah mulai masyarakat
dapat berpartisipasi dalam pembentukan UU, atau dalam urutan administrasinya
adalah ketika pembuatan naskah akademik.[14]
UU No.
12/2011 Pasal 18 huruf h memberikan penjelasan, dalam penyusunan
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan
Undang-Undang didasarkan atas, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan demikian penentuan prolegnas harus
juga memperhatikan kepentingan masyarakat.
D. LANDASAN HUKUM PARTISIPASI
Sila keempat,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Mengisyaratkan dalam setiap hal harus melalui musyawarah, apalagi terkait
dengan pembuatan UU. Musyawarah disini harus melibatkan masyarakat, sebab ini
berkaitan erat dengan good and clean goverment, yang bercirikan terbuka. Selain
itu juga ini dijamin oleh UUD 1945, UU No. 10 tahun 2004, Peraturan Persiden
No. 68 tahun 2005, UU No. 12 tahun 2011, Tata tertib DPR RI dalam bab XVII,
dll.
Perlu
diketahui pula bahwa dalam UU No. 12/2011 pasal 96 ayat (4) menyatakan bahwa, Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan
Perundangundangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Berikut
aturan yang mengatur partisipasi masyarakat,
1.
UU No. 12/2011 pasal 96 ayat (1) Masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan,
2.
Persiden No. 68 tahun 2005 pasal 41 ayat (1) dalam
rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Undang-undang, masyarakat dapat
memberikan masukan kepada pemrakarsa,
3.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 pasal 141 ayat (1) dalam rangka penyiapan
Rancangan Undang-undang, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan
tertulis kepada DPR,
4.
Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia No. 2/DPD/2004, pasal 91 berbunyi, “Rapat Dengar Pendapat Umum adalah
rapat antara Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc, Panitia Perancang
Undang-Undang, dan/atau panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok,
organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan Panitia Ad Hoc,
Pimpinan Gabungan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang, Pimpinan
oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Gabungan Panitia Ad Hoc, Pimpinan
Panitia Perancang Undang-Undang, dan/atau Pimpinan Panitia Khusus”. Begitu juga
dengan pasal 146 dan pasal 148 yang menjelaskan anggota DPD.
E. CARA
BERPARTISIPASI
Sebelum
kita membahas bagaimana cara berpartisipasi dalam masyarat. Perlu untuk kita
ketahui tingkatan dari partisipasi masyarakat yang dikelanalkan oleh Arstein
ada tujuh tingkatan yang dimulai paling tinggi hingga paling rendah.[15]
Urutan
tersebut adalah (a) Kontro Warga Negara (citizen control), ini adalah
tahap akhir di mana publik memiliki wewenang untuk memutus, melaksanakan, dan
mengawasi pengelolaan sumber daya publik; (b) Delegasi kewenangan (delegated
power); (c) Kemitraan (partnership); (d) peredaman (placation); (e) konsultasi;
(f) Informasi (informing); (g) Terapi; (h) Manipulasi;
Melihat
dari aturan penulis membagi partisapasi masyarakat ke beberapa kesempatan
yaitu:
1. Dalam penentuan
Program Legislasi mana yang paling prioritas untuk didahulukan,
2. Dalam penyusunan
naskah akademik,
3. Dalam pembahasan RUU
yang bersangkutan, pada umumnya DPR mempublikasikan dalam media nasional
Rancangan Undang-Undang, yang kemudian untuk dikritisi dan dibahas,
4. Dalam pemblukasian,
setelah RUU tadi disahkan sebagai UU.

Alur Partisipasi Masyarakat[16]
Partisipasi
masyarakat dapat dibagi ke dalam beberapa segi, yaitu (a) dari segi orang yang
menyampaikan; (b) dari segi sifat penyampaian; (c) dari segi cara/bentuk
penyampaian;
1. Dari segi orang yang
menyampaikan[17]
a. Perseorangan
b. Lembaga, organisasi,
dll.
2. Dari segi sifat
penyampaian
a.
Tertulis
b.
Lisan
c.
Draft RUU Pembanding,
d.
Demonstrasi,
e.
Dll.
3. Dari segi bentuk
penyampaian
a.
Rapat Dengar Pendapat Umum
b.
Kunjungan Kerja;
c.
Sosialisasi; dan/atau
d.
Seminar, Lokakarya, dan/atau Diskusi.
Dari
beberapa sifat di atas ada beberapa hal yang menarik untuk kita lihat yang juga
sekaligus sering menjadi sumber kontroversial, yaitu kunjungan kerja. Sebab,
banyak kunjungan kerja yang dilakukan oleh DPR RI, DPD, DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota, tidak mencapai sasaran. Penulis menilai kunjungan keluar negeri
khususnya, tidak begitu penting. Akan tetapi sebagai kaca berpandigan dalam
beberapa hal masih diperlukan, khususnya terkait dengan sistem administrasi
negara.
Dan hal ini
tidak perlu terlalu sering untuk dilakukan, sebab peneliti anak bangsa yang
lahir dari akademis luar negeri cukup banyak, yang jikalau penulis lihat
pemberdayaan mereka masih sangat kurang.
Yang paling
penting adalah meneliti dan melibatkan masyarakat khususnya akademis yang telah
banyak melakukan penelitian dalam RUU yang akan dibahas. Dan objek yang
diteliti adalah masyarakat Indonesia sendiri, sebab jikalau kita lihat hukum
yang sekarang ini berlaku, belum mencerminkan masyarakat Indonesia. Wallahu
a’lam.
F. PENUTUP
Hukum adalah apa yang hidup di masyarakat, tidak
hanya apa yang tertulis (law in action, not just in books). Inilah yang
ditanamkan jika mengingikan hukum Indonesia progressif, yang mencapai keadilan
masyarakat.
Untuk menjawab tantangan itu adalah harus
melibatkan sepenuhnya masyarakat, ini juga merupakan wujud usaha untuk mencapai
demokrasi yang berkualitas yang dapat ditemukan dalam konsep empowered
democracy. Suatu demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara genuie
yang sekaligus bertujuan langsung untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
yang rentan secara politik, ekonomi, dan sosial.[18]
Melihat kondisi yang ada dapat kita lihat bahwa
aturan yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya, baru hanya sebatas ilusi
belaka. Oleh karenanya perlu kita membumikan aturan tersebut baik dengan cara
memilih perwakilan yang lebih baik.
[1] Makalah ini dibuat oleh Abdul Karim Munthe
dan Irpan, sebagai tugas yang diberikan oleh Bapak, Ismail Hasani, MH. Sekalgus
untuk dipresentasikan di hadapan mahasiwa Peradilan Agama VI B Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Jakarta. Pada Kamis, 19 April 2012, pukul 13.00 wib.
[2] Demokarasi jika dilihat dari segi bahasa
berasal dari Yunani berasal dari dua kata yaitu, demos yang berarti
rakyat atau penduduk setempat, dan certain dan cratos yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan. A. Ubaedillah. at.all., Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 36.
Edisi ketiga.
[3] Soehino,
Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 19.
[4] Nomkrasi adalah istilah dari bahasa
Yunani, yaitu nomos yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan. Jimly ash-Shiddiqie, Konstitusi dan
Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 151.
[5] Moh.
Mahfud MD, “Komplikasi Penegakan Hukum Kita”, Prolog dalam buku Martimus Amin
dan Burhanuddin Hasan, Matinya Negara Hukum, (tt: LawReform, 2006), h.
xv-xvi.
[7] Maria Faida Indrati S, Ilmu
Perundang-undangan, Jilid 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 256.
[8] Ismail Hasani dan A. Ghani Abdullah, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan, (Diktat Perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum,
2006), h. 67.
[9] Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 1994), h. 572.
[10] Maria Faida Indrati S, Ilmu
Perundang-undangan, Jilid 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 263.
[11] Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2009), h. 148. Cet. Ke-2.
[12] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 103.
[13] Artinya,
hukum itu berubah seiring berubahnya
tempat dan waktu.
[14] Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 12/2011
angka11 yang berbunyi, Naskah Akademik adalah naskah
hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap
suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dari sini
tergambar jelas bahwa masyarakat mengambil andil sentral dalam pembentukan UU.
[16] Data ini diolah dari Tatib DPR, UU No.
12/2011, Keputusan DPD No. 2/DPD/2004, dan PP No. 68 Tahun 2005.
[17] Orang yang menyampaikan harus menyertakan
identitas lengkap. Lihat pasal 41 ayat (3) PP No. 68 tahun 2005.
[18] Ismail Hasani dan A. Ghani Abdullah, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan, (Diktat Perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum,
2006), h. 71.
0 Response to "ILUSI PARITISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"