Abdul Karim Munthe
1.
Fungsi Tanah
Penggunaan tanah bagi masyarakat Indonesia
sangant penting. Berbeda dengan masyarakat negara lain khususnya Eropa atau
Amerika. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia menilai tanah adalah aset
yang paling berharga, dan yang paling dapat menjamin keberlangsungan hidup.
Sebagaimana kita lihat masih pertanian sayuran, sawah, perkembunan, dll.
Perkembangan zaman dan ekonomi fungsi tanah
yang pada awalnya sebagai lahan untuk bertani, sekarang ini telah banyak
beralih fungsi menjadi perumahan, jalan, pusat perbelanjaan, dll. Sehingga
kesempatan untuk menggunakan kembali tanah ke fungsi awal yaitu bertani sulit
untuk dilakukan. Di samping itu banyak investor, pemilikan atau penguasaan
tanah menjadikannya sebagai investasi, sebab hal ini sangat menguntungkan,
sebab dalam jangka panjang,
investasi seperti itu menjanjikan kemanan,
kepastian pendapatan, nilai tinggi, dan umumnya terhindar dari inflasi,
sehingga kasus monopoli terhadap tanah banyak terjadi, sebagaimana diungkapkan
oleh Zimmerman.[1]
2.
Pembebasan Tanah dan Aspek Pembangunan
Pembebasan tanah sangatlah rawan dalam penanganannya, kerena di dalamnya
menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau dilihat dari kebutuhan pemerintah akan
tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa
tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan
yang dapat ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai
hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat diatasnya.
Dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah,
telah digariskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tertuang
dalam Tap. MPR No. IV/MPR/1973, bahwa pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan
dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan bukan menjadi tanggung jawab
Pemerintah semata-mata, melainkan menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, rasa tanggung jawab masyarakat terhadap hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai harus ditumbuhkan, dengan mengikut sertakan
masyarakat secara adil. Dengan demikian, kalau rakyat melepaskan tanah-tanah
mereka, pelepasan hak itu harus dengan keikhlasan demi pembangunan bangsanya.
Tetapi pemerintah juga dituntut untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang ada, seperti yang di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15
Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
Pembebasan tanah tersebut tidak terlepas
dari masalah ganti rugi. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15/1975,
secara tegas disebutkan, “Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang
semula terdapat pada pemegang hak (penguasa tanah) dengan cara memberikan ganti
rugi”. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa :
a.
Tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan
Undang-undang No 5/1960,
b.
Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat (Pasal
1:(5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15/1975.
Dalam
mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia
pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak
atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada diatasnya berdasarkan harga umum
setempat (Pasal 6 ayat (1) PMDN No 15/1975).
Dalam
menetapkannya besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman, panitia harus
berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum
dan Dinas Pertanian setempat. Tentang lokasi dan factor-faktor strategis
lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam penetapkan
ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan
tesebut, yang ganti ruginya dapat berbentuk uang, tanah, dan
fasilitas-fasilitas lainnya.
Dilain
pihak, Pemerintah yang dalam hal ini berperan aktif secara kolektif merupakan unsur
panitia dalam pembebasana tanah yang terdiri dari :
a.
Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya
sebagai ketua merangkap anggota.
b.
Seorang Pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah
Tingkat II yang ditujuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang
bersangkutan sebagai anggota.
c.
Kepala Kantor Ipeda/Ireda atau pejabat yang
ditunjuk sebagai anggota.
d.
Seorang yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan
tanah tersebut sebagai anggota.
e.
Kepal Dinas PU Daerah tingkat II atau pejabat yang
ditunjuknya, apabila mengenai tanah bangunan dan atau Kepal Dinas Pertanian
Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai pertanian, sebagai
angggota.
f.
Kepala Kecamatan setempat sebagai anggota.
g.
Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu
sebagai anggoata.
h.
Seorang Pejabat dari kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/ Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan anggota. Bila
perlu oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat ditambah dengan Tenaga Ahli.[2]
Untuk
membantu panitia dalam melakukan pelaksanaan pengadaan tanah dalam rangka
kepentingan umum, maka dalam pasal 8 Keppres No 55/1993 diatur mengenai tugas
panitia, sebagai berikut :
1.
Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah
yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
2.
Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah
yang hak atasnya akan dilepas atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
3.
Menaksir dann mengusulkan besarnya ganti rugi
kkerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
4.
Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada
pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
5.
Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak
atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk/dan atau besarnya kerugian.
6.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti
kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang ada diatas tanah.
7.
Membuat berita acara pelaksanaan atau penyerahan
hak atas tanah.
Menelaah
dengan seksama ketentuan pasal 8 diatas, tampaknya tugas panitia sangatlah
berat, sebab panitia memiliki tugas melakukan penelitian sampai pada penyaksian
terhadap pembayaran ganri kerugian kepada pemilik tanah. Hal ini dapat
dimaklumi karena masalah yang timbul dalam pembebasan tanah, antara lain ganti
kerugian kadang-kadang tidak sampai pada sasaran, karena panitia tidak terlibat
menyaksikan penyerahan ganti kerugian tersebut.
Dalam
Pasal 9 Keppres No 55/1993 telah dengan tegas dinyatakan bahwa pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui
musyawarah. Musyawarah dilakukan secara langsung antar pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah (Pasal 10 ayat
1 Keppres No 55/1993).
Dalam
kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 (1) diatas, dalam kenyataanya terlalu
banyak pemegang hak atas tanah tersebut sehingga tidak akan efektif dalam
melakukan musyawarah, maka jalan keluarnya diatur menurut Pasal 10 :(2)
dinyatakan bahwa :
“Dalam
hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya
musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan Panitia Pengadaan Tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak
atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa “.
Dalam
pasal 12 Keppres No 55/93 dinyatakan bahwa ganti kerugian dalam rangka pengadaan
tanah diberikan untuk (a) hak atas tanah, (b) bangunan, (c) tanaman, (d)
benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah. Berkaitan dengan pemberian ganti
kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 12, dalam pasal 13 Keppre No 55/1993
diatur pula mengenai bentuk ganti rugi sebagai berikut:
1.
Uang
2.
Tanah pengganti
3.
Pemukiman kembali
4.
Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), (b), dan huruf (c) dan
5.
Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Sementara
itu , penggantian ganti kerugian terhadap tanah yang dikuasai dalam bentuk hak
ulayat, maka pelaksanaan ganti kerugian diberikan dalam bentuk pembangunan
fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat (Pasal
14).
Dalam
pasal 5 Keppres Nomor 55/1993 diatur mengenai kegiatan pambangunan yang
dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk
mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:
a.
Jalanan umum dan saluran pembuangan air
b.
Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya
termasuk saluran irigasi
c.
Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan
masyarakat
d.
Pelabuhan udara, Bandar udara dan terminal
e.
Peribadatan
f.
Pendidikan atau sekolah
g.
Pasar umum atau pasar impress
h.
Fasilitas pemakaman umum
i.
Fasilitas keselamatan umum seperti : tanggul
penanggulangan banjir, lahar daln lain-lain bencana
j.
Pos dan telekomunikasi
k.
Sarana olahraga
l.
Stasiun penyiaran radio, televise beserta sarana
pendukungnya
m.
Kantor pemerintah
n.
Fasilitas angkatan bersejata dan polisi Negara
Indonesia
Penentuan
mengenai jenis bidang pembangunan yang termasuk dalam kepentingan umum tersebut
tetap ditentukan dalam keputusan presiden. Hal ini menandakan bahwa penentuan
pembangunan yang masuk dalam kategori tersebut, bukan sembarang ditentukan
tetapi harus melalui suatu proses yang nantinya presiden sendirilah yang yang
menentukan kategori tersebut.[3]
3.
Pencabutan Hak atas Tanah
Pencabutan
hak atas tanah merupakan suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk
mengambil hak atas tanah warga Negara demi kepentingan umum, yang didalamnya
terdapat kepentingann bersama rakyat, kepentingan bangsa dan Negara, serta
kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1 UU No 20/1961 dinyatakan bahwa :
“ untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula
kepentingan pembangunan, maka presiden dalam kedaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Memperhatikan
ketentuan dalam pasal 1 UU No 20/1961 diatas, maka sebelum Presiden
mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan dicabut hak-hak atasnya,
terlebih dahulu mesti melakukan suatu proses permohonan yang diajukan oleh yang
berkepentingan. Dalam pasal 2 UU No 20/1961 dinyatakan bahwa :
Permintaan
untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut, diajukan
oleh yang berkepentingan kepada presiden dengan perantaraan Menteri Agraria,
melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan (ayat (1). Permintaan
tersebut oleh yang berkepentingan disertai dengan : (a) rencana peruntukannya
dan alas an-alasannya, bahwa untuk kepentinganharus dilakukan pencabutan hak
itu. (b) keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak,luas
dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang
bersangkutan. (c) rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu
dan kalau ada, juga orang-orang yang menganggap tanah atau menempati rumah yang
bersangukatan.
Dalam
kaitannya dengan tugas inspeksi agrarian sebagai pelaksana oses pencabutan hak
atas tanah pada tingkat daerah, maka kepala daerah harus menyampaikan
pertimbangan kepada kepala inspeksi agrarian untuk disampaikan kepada menteri
agrarian (Badan Pertahanan Nasional). Hal ini sesuai ketentuan pasal 3 ayat (2)
dinyatakan bahwa :
Di
dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya kepala inspeksi
agrarian, maka : (a) kepala daerah harus sudah menyampaikan pertimbangannya
kepada kepala inspeksi agrarian. (b) panitia penaksir harus sudah menyampaikan
ganti kerugian yang dimaksudkan itu kepada kepala inspeksi agrarian. Setelah
kepal inspeksi agrarian menerima pertimbangan para kepala daerah dan taksiran
ganti kerugian, maka segera ia menyampaikan permintaan pencabutan kepada hak
itu kepada menteri agrarian, dengan disertai pertimbangan ayat (3). Jika
didalam waktu tersebut pada ayat (2)
pasal ini pertimbangan dan/atau taksiran ganti kerugian belum diteria oleh
Kepala Inspeksi Agraria, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan
pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak menunggu
pertimbangan kepala daerah dan/atau taksiran ganti kerugian panitia penaksir.
Pencabutan
dapat dilakuka dengan dua cara, yaitu dengan cara biasa dan dengan cara yang
istimewa. Cara biasa diatur dalam Pasal 5 UU No 20/1961 dinyatakan bahwa :
Dengan
tidak mengurangi pasal 6 dan Pasal 8 (1), maka penguasaan tanah dan/atau
benda-benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat pencabutan
hak dari presiden sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 1 dan setelah dilakukan
pembayaran ganti kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam surat keputusan
tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai yang dimaksud daam pasal
2 ayat (2) huruf e.
Pencabutan
dapat dilakukan dengan cara yang tidak normal (biasa), kalau benar-benar
pembangunan tersebut tidak dapat dielakan lagi, dan tidak terdapat tanah
pengganti. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU No 20/1961
dinyatakan sebagai berikut.
Menyimpang
dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan
penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan dengan segera, atas
perminyaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan
untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria,
tanpa disertai taksiran ganti rugi panitia penaksir dan kalau perlu juga dengan
tidak menunggu diterimanya pertimbangan kepada kepala daerah (ayat 1). Dalam
hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka menteri agraria dapat mengeluarkan
surat keputusan yang member perkenaan kepada yang berkepentingan untuk
menguasai tanah dan/atau benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut
akan segera diikuti dengan keputusan presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya
permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu (2). Jika telah dilakukan
penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka
bilamana kemudaian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang
berkepentingan harus mengembalikan tanah atau benda-benda yang bersangkuta
dalam keadaan semula dan atau member ganti kerugian yang sepadan kepada yang
mempunyai hak ini.
Betrkaitan
dengan ketentuan dalam pasal 6 diatas, apabila proses pencabutan telah
dilakukan, tetapi pemegang hak atas tanah tetap tidak mau menerima keputusan
mengenai besarnya ganti rugi tersebut, maka pemegang hak atas tanah dapat
mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dala
pasal 8 ayat (1) Keppres No 55/1993.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Sutedi, Adrian. Peralihan
Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2009. Cet.
Ketiga.
Santoso, Urip. Hukum
Agraria dan Hak-hak atas tanah, Jakarta: Kencana, 2010. Cet. Keenam.
Solmin, Soedaryo. Status
Hak dan Pembebasan Tanah, edisi kedua, Jakata: Sinar Grafika, 2008.
Supriadi. Hukum
Agraria, Jakrta: Sinar Grafika, 2009. Cet ketiga.
0 Response to "SISTEM PENYEDIAAN, PEROLEHAN, DAN PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN"