Oleh : Ali Trigiyatno
Poligami (ta’addud az-zaujat) dalam
Islam dibolehkan dengan syarat-syarat yang cukup selektif sebenarnya
didesain dalam rangka untuk menjadi ‘remedy’ sosial dalam waktu-waktu
atau kondisi tertentu. Yang namanya ‘remedy’ tentu tidak selalu terasa
manis dan bahkan lebih sering terasa pahit, namun dikemudian hari akan terasa
manfaat dan faedahnya. Obat juga tidak bisa sembarang waktu dan orang boleh
meminumnya, ia harus mengikuti ‘dosis’ yang dibolehkan, karena jika aturan
mainnya tidak dipatuhi, besar kemungkinan obat itu justeru akan menjadi racun
yang dapat mencelakakan peminumnya.
Demikian juga dengan praktek poligami, dalam
kenyataannya juga sering menjadi ‘racun’ karena diminum sembarang orang dan
‘over dosis’ yakni lebih dari kemampuan bersikap adil dan lebih banyak
dilandasi oleh hawa nafsu pelakunya daripada dalam rangka menyantuni anak-anak
yatim dan janda-janda. Poligami hanya dirasakan manis oleh suami, namun
kadang terasa pahit bagi isteri-isteri (terutama isteri pertama) dan
anak-anaknya. Sang suami bisa tersenyum lebar karena mendapat tambahan
‘hiburan’, sedangkan isteri pertamanya cemberut karena mendapatkan saingan.
Mengingat spirit dasar kebolehan poligami banyak
disalahgunakan oleh sebagian pihak, maka pemerintah merasa ‘terpanggil’ untuk
mengatur dan mengendalikan poligami agar tidak menjadi makhluk ‘liar’
yang mudah disalahgunakan terutama kaum lelaki yang kurang bertanggiung
jawab, serta dalam rangka lebih melindungi dan menjamin hak-hak kaum wanita,
maka dibuatlah sejumlah peraturan yang akan membatasi kebolehan (kemudahan)
berpoligami.
Jika diperhatikan, maka pemerintah-pemerintah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam menyikapi poligami ini terbagi
menjadi tiga kelompok yakni negara yang melarang (mengharamkan) poligami,
mengetatkan kebolehan poligami dan yang menyikapi secara biasa sebagaimana
ketentuan dalam kitab-kitab fiqih selama ini. Dan untuk lebih jelasnya inilah
keterangan singkat pengaturan poligami di beberapa negara muslim dewasa ini.
Poligami dalam Perundang-Undangan
A. Negara yang melarang sama sekali poligami
Dewasa ini, negara yang berani menjadikan
poligami sebagai barang ‘haram’ adalah negara Turki dan Tunisia.
Menarik sekali apa yang ditetapkan di dua negara ini, seorang pria tidak dapat
melakukan poligami kecuali kalau ia ingin dipenjara atau didenda. Di Turki dan Tunisia
poligami secara tegas diatur dan ditetapkan sebagai sesuatu yang ‘diharamkan’
bagi pria. Ketentuan yang melarang poligami di Tunisia ini diatur dalam
Undang-Undang Status Perorangan ( The Code of Persomal Status ) tahun
1956 pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa poligami dalam
bentuk apapun dan dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal yang terlarang
dan barang siapa yang melanggarnya maka ia dapat dipenjara selama 1 tahun atau
denda 24.000 Francs. (Muhamad Abu Zahrah: Tandzim al-Usrah wa Tandzim
an-nasl: 50) Sedang di Turki ketentuan yang melarang poligami terdapat
dalam Civil Code 1926 pasal 93, 112 dan 114 yang pada intinya
melarang praktek poligami dan pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman. (Tahir
Mahmood : Personal Law in Islamic Countries: 275)
Dasar pertimbangannya dalam melarang praktek
poligami adalah dikarenakan syarat adil sebagaimana yang disyaratkan al-Qur’an
mustahil bisa dilakukan dan dipenuhi oleh suami sebagaimana dinyatakan dalam
al-Qur’an,” wa lan tastati’u an ta’dilu bainan nisa’I walau harastum bihi”.
Dengan sendirinya jika syarat kebolehan itu tidak bisa dipenuhi maka
dengan sendirinya kebolehan poligami menjadi tertutup. Maka negara mengambil
kebijakan untuk melarang kebolehan berpoligami dan bahkan menjadikannya sebagai
tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelakunya.
B. Negara-negara yang membatasi poligami
Dalam rangka lebih melindungi dan menjamin
hak-hak wanita dan anak-anak, pada umumnya kebanyakan negara-negara muslim
bersikap cukup ketat dan selektif dalam mengatur poligami. Kebolehan poligami
diperketat dengan sejumlah syarat yang sulit dipenuhi oleh seorang pria, sehingga
dengan sendirinya poligami menjadi sulit dan jarang dilakukan karena sulitnya
memenuhi persyaratan.
Di Indonesia, Irak, Malaysia, Somalia dan Suriah
seorang suami yang hendak melakukan poligami diharuskan mendapatkan izin
terlebih dahulu dari pengadilan (prior permission of the court),
sementara di Bangladesh dan Pakistan izin itu juga diharuskan dari semacam
dewan arbitrase (a Quasi Judicial Body). Izin dapat diberikan di Irak
dan Suriah jika terdapat alasan yang kuat dan sah (lawful reason). Di Pakistan, Bangladesh
dan Malaysia izin poligami
diberikan jika suami dipandang oleh pengadilan mampu berlaku adil, bahkan Malaysia
menambahkan ketentuan bahwa dengan poligami itu isteri-isterinya harus diyakini
ntidak medapatkan madharat atau bahaya yang diakibatkan adanya poligami itu.
Sedang di Indonesia, Somalia dan Yaman Selatan, pengadilan dapat memberikan
izin untukm poligami jika isteri menderita mandul, cacat fisik atau penyakit
yang tak dapat disembuhkan (incurable disease) atau isteri tidak dapat
menjalankn tugasnya dengan baik di Indonesia dan jika isteri dipenjara lebih
dari dua tahun di Yaman Selatan. Dalam hal ini kemampuan finansial suami tetap
diperhatikan dan jadi bahan pertimbangan dalam memberikan izin oleh pengadilan.
(Tahir Mahmood: Personal Law in Islamic Countries: 274)
Di negara Yordania, Libanon dan Maroko UU, bentuk
perlindungan yang diberikan oleh UU kepada kaun perempuan adalah dengan
jalan mereka memberikan hak kepada isteri untuk mengajukan syarat sewaktu
akad nikah (perjanjian nikah) agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika
suami melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan (cerai
gugat). Di Yordania hal ini diatur dalam The Code of Personal Status
1976 pasal 19, sedang di Libanon diatur dalam The Law on Family Rights
1917-1962 pasal 38. Di Maroko ketentuan ini diatur dalam The Code of
Personal Status 1957-1958 pasal 31.
Di Irak seorang suami yang melakukan poligami
tanpa mendapatkan izin dari pengadilan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
UU, walau perkawinannya sah, suami dapat dijatuhi hukuman setempat atau lokal
sebagaimana diatur oleh UU lokal setempat. Ini diatur dalam Law of
Personal Status 1959 pasal 3 ayat 6. Di Pakistan seorang suami yang
melakukan poligami tanpa mengantongi izin dari pengadilan berdasarkan Muslim
Family Law Ordinance 1961 juga dapat dijatuhi hukuman. (Tahir Mahmood: Muslim
Family Reform in The Muslim World: 278)
Catatan Penutup
Dari paparan singkat di atas dapat kita tarik
beberapa poin sehubungan dengan pengaturan poligami yang dipraktekkan beberapa
negeri muslim dewasa ini sebagai berikut :
- Kebanyakan negara muslim terpengaruh oleh gerakan feminis/gender untuk lebih memperhatikan dan melindungi hak-hak kaum wanita sehingga dalam pengaturan poligami lebih diperketat sebagai upaya ‘kompromi’ dari tuntutan kaum feminis untuk melarangnya sama sekali.
- Dibanding ketentuan dalam fiqih selama ini maka pengaturan poligami banyak mengalami ‘kemajuan’ utamanya yang berkaitan dengan campur tangan dan wewenang pengadilan, penambahan syarat-syarat serta adanya sanksi yang mungkin dijatuhkan kepada para pelanggar.
- Turki dan Tunisia merupakan dua negara yang banyak melakukan ‘pemberontakan’ terhadap ketentuan fiqh lama dengan melarangnya sama sekali bahkan menjadikannya sebagai barang terlarang.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas
maka tampak ada negara yang masih ‘jalan di tempat’ dalam mengatur poligami
seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, yakni belum banyak beranjak dari
ketentuan fiqh lama. Sementara kebanyakan negara berusaha mengatur poligami
agak ketat untuk mengurangi ekses negatif poligami. Sebagian lagi melangkah
cukup berani dengan melarangnya sama sekali dan bahkan menganggapnya sebagai
tindak pidana seperti yang ditunjukkan oleh Turki dan Tunisia.
Jika kita perhatikan ketentuan yang mengatur
poligami di Indonesia, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Th 1974, maka
menurut hemat penulis, pemerintah Indonesia masuk dalam kategori yang
membolehkan poligami dengan aturan yang cukup ketat, lebih-lebih bagi PNS maupu
anggota TNI/Polri. Namun bukan berati telah sempurna dan lengkap yang mampu
memuaskan segenap pihak.
Penulis adalah Dosen STAIN PEKALONGAN
0 Response to "Poligami dan Pengaturannya di Beberapa Negeri Muslim"