Ushul
Fikih Integratif-Humanis:
Sebuah Rekonstruksi Metodologis
By Shofiyullah Mz.
- Iftitah
Sebagai the
queen of Islamic sciences,[1] ushul
fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan
lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis
dari ajaran Islam sangat ditentukan oleh bangunan ushul fikih itu sendiri.
Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fikih menempati poros dan inti dari
ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan
makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian,
rumusan ushul fikih seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap
upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini
sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fikih yang harus selalu berusaha
menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan
akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang
sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a
‘illatihî wujûdan wa
`adaman.
Tidak
diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan dan standar yang
beragam sesuai dengan jenis persoalan yang ditinjau. Ada persoalan hukum fikih yang berhubungan
dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Namun karena penjelasan nash
demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak bisa memasuki wilayah
ini. Pemahaman ahli fikih hanya sekadar menghimpun berbagai nash itu dan
menghubungkan dengan nash lain sehingga membentuk gambaran utuh tentang
ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar pada persoalan
interpretasi nash dengan mempergunakan konsep-konsep dalam prinsip ilmu
tafsir seperti mengkaji makna umum dan khusus, kontradiksi (ta`ārudl),
dalil isyarat, mafhum mukhālafah dan lain sebagainya.
Secara umum, kajian ushul fikih
juga tidak terlepas dari gambaran di atas, banyak berkutat pada wilayah privat
dan domestik seperti perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan
terhadap jenazah, selain yang bersifat ritual seperti tata cara ibadah beserta
syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkan, tatakrama beribadah dan lain
sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh oleh
literatur ushul fikih klasik yang ada selama ini seperti bagaimana kebijakan
fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam masyarakat
multikultur dan multirelijius, pemanfaatan sarana informasi teknologi dalam
ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala
teroris yang diyakini sebagai jihad fi sabilillah, isu HAM dan gender, traficking,
kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks
sistem pemerintahan modern yang sekuler dan lain sebagainya. Semuanya menjadi
tidak banyak disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi dan keberanian
yang luar biasa untuk tidak sekedar merangkai nash dan nash yang tersedia
dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya,
baik social and natural sciencies ataupun humanities yang selama
ini dianggap berada di luar wilayah ulum al-din dan bersifat mubah
hukumnya untuk mengetahui atau sekedar mempelajarinya.
Ketidak
beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya
sudah final dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku
“sekali untuk selamanya”.[2]
Akibatnya, tradisi keilmuan yang berlangsung kemudian adalah tradisi syarh
dan hāsyiah atas matn yang dirumuskan oleh ulama terdahulunya.
Generasi berikutnya merasa sudah cukup atas temuan dan rumusan yang dibuat oleh
generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta
memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.[3]
Aktifitas
syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam
mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama seperti Abu Yusuf dan Muhammad
ibn Hasan dalam mazhab Hanafi; Ibn Qāsim dan al-Ashāb dalam mazhab Malikī;
al-Muzanī dan al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; dan al-Atsrām dalam mazhab
Hanbalī.
Maraknya
tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam saat itu yang
oleh Nurcholis Madjid disebut dengan pseudo-ilmiah ditandai dengan semakin
menurunnya tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual umat Islam.
Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yang harus dibayar oleh umat
Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko salah dalam
melakukan penelitian (istiqrā’) yang kemudian dirumuskan dan dirasionalisasikan
dengan argumen sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para imam mazhab.[4]
Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif di masyarakat Islam
dengan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup.
Ibrahim
Hosen mencatat ada empat alasan utama yang melatari seruan tersebut, pertama,
hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat
dan lain sebagainya sudah lengkap dan dibukukan secara terinci dan rapi, karena
itu ijtihad dalam bidang-bidang tersebut sudah tidak diperlukan lagi. Kedua,
mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karena itu penganut mazhab
Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab yang empat dan tidak
boleh di luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma
dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada hukum
yang terdiri atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih, hal semacam ini
terkenal dengan istilah talfiq di mana kebolehannya masih
diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini, tak seorang ulama pun
yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya
sebagai seorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit,
untuk tidak dikatakan mustahil adanya.[5]
Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil
sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.[6]
Berkenaan dengan itu, Hassan Hanafi menyebut produk
pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang
memiliki tiga ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita
warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yang kita fahami) dan al-muwajjih
lisulūkinā (sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).[7]
Dari sini perputaran roda budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa
menggelinding dalam alur “gerak statis” (harakat sukūn) karena gerak
sejarahnya tidak mengkristal pada produksi hal-hal baru, melainkan pada
reproduksi hal-hal lama dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş.
[8]
Kebutuhan akan kerangka
metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif dengan
berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak bisa dihindari
oleh ushul fikih apabila tetap menghendaki bisa survive dalam merespon
setiap persoalan sosial kemasyarakatan yang berkembang demikian dinamis dan
akseleratif ini agar ushul fikih tetap sesuai dengan jargonnya, alhukm yadūru
ma`a illatihi wujūdan wa adaman sehingga bisa tetap shālih likulli zamān
wa makān.
B.
Ushul fikih dalam Islamic
Studies
Secara epistemologis, perkembangan
pemikiran Islam menurut al-Jābiri meliputi tradisi bayani, irfani dan burhani.[9]
Tradisi bayani berkembang paling awal dan tipikal dengan
kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara
massif-akulturatif. Tradisi bayani telah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) dan
menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan dan keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dinilai sebagai salah satu teoritikus utama formulasi
tradisi bayani. Di antara sumbangan penting al-Syafi’i
dalam proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah
memposisikan al-Sunnah pada posisi kedua dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan
al-Sunnah dengan kandungan hadis yang berasal dari Nabi, dan mengikat erat
ruang gerak ijtihad dengan nash.[10]
Dalam bayani, posisi nash
sedemikian sentral sehingga aktivitas intelektual senantiasa berada dalam haul
al-nash (lingkar teks) dan berorientasi pada reproduksi teks (istişmār
al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem wacana”
yang concern terhadap tata hubungan wacana verbal (kalam) --bukan “sistem
nalar” yang berkaitan dengan tata hubungan fenomena empiris logis—sehingga
bahasa Arab menjadi otoritas rujukan epistemologis nalar Arab Islam.[11]
Dengan demikian, validitas pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas
intelektual tersebut dituntut “korespondensial” dengan makna linguistikal teks.
Selain itu, validitas pengetahuan juga dituntut untuk “analogis” dengan teks
yang sudah dijadikan sebagai al-ashl tersebut.
Tata hubungan dalam wacana verbal yang memang dibentuk secara sosial lebih bersifat
arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan pada prinsip mabda`
al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini setelah bertemalian dengan
Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap realitas.
Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara
atomistik, sehingga seakan tak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya
segala sesuatu tadi.
Setelah dunia
Islam mengalami kontak massif-akulturatif dengan budaya luar dan mengintrodusir
khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia,
maka nalar gnostik pun mulai berkembang dalam diskursus intelektual Islam dan
melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim
atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah
samawi dan menganggap rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa manusia
dengan Tuhan, bukan rasio yang mampu menerima pengetahuan dari sumber aslinya
(Tuhan) melainkan hati (intuisi) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang
suci yang telah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini
memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga dari kesalahan (`ishmah). Secara
hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dianggap berada pada posisi paling
tinggi dan prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan
spiritual-sufistik yang menyedot perhatian utama para eksponen epistemologi irfani tidak hanya
dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.[12]
Masuknya
pengaruh pemikiran Yunani (Hellenistik) ke dalam
tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir
berkaitan dengan kebijakan al-Makmun untuk mengembangkan diskursus baru sebagai
counter terhadap
gerakan intelektual-politis yang dinilai mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang
ditimbulkan oleh masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql
al-kauni (nalar universal, universal reason) yang
menjadi basis utama epistemologi burhani.
Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual
manusia, indera dan daya rasional untuk pemerolehan pengetahuan tentang
semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis, valid
dan postulatif.[13]
Hal
ini sejalan seperti disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul
fikih klasik adalah tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yang
besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang
berkaitan dengan hukum dan struktur sosial. Oleh karenanya, pendekatan yang
dipergunakan selalu deduktif bukan induktif.[14]
Temuan ini diperkuat oleh Arkoun bahwa yang menjadi kecenderungan pemikiran
Arab klasik adalah tekstualisme.[15]
George
Makdisi dengan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori
epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik dan rasionalistik.
Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang pada keunggulan faith
(kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori kedua karena berpegang pada
keunggulan akal.[16]
Sebagai salah satu metodologi dalam
kajian hukum Islam, ushul fikih juga merupakan cabang ilmu yang dalam banyak
hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir,
ilmu hadis dan ilmu kalam.[17] Ushul fikih
sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah
hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan
juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi.
Dengan kata
lain, ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran
hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika
formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan
Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi
kontemporer.[18]
Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir
bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang
memiliki karakter historis yang berbeda-beda. Dalam babak puncak pertumbuhannya
eksistensi ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih)
sebagai disiplin ilmu yang sangat terhormat dan dominan jika dibandingkan
dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, munculnya ilmu ushul
bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait
dengan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum
mengatakan bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan
kondisi zamannya. Teori-teori ushul fikih yang muncul sejak zaman Sahabat pada
dasarnya merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang muncul pada
saatnya. Sehingga metode ijtihad yang diterapkan oleh generasi pertama umat
Islam tersebut merupakan fenomena sejarah yang kemunculannya secara “natural”
belum merujuk kepada sumber teori yang baku.
Karena memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yang
mandiri dan mempunyai landasan epistemologi yang kokoh.
Demikian juga, istinbat yang
berkembang dan “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi
pertama sampai munculnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i pada
tahun 203 H, merupakan fenomena sejarah yang sangat jelas variabel dan
determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas misalnya---juga
menentukan format tradisi kajian ushul yang lebih banyak bi al-lisān dan
bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan
bangunan ilmu dari hasil kajian yang belum mapan pondasi epistemologinya karena
masih terbuka dan dinamis. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami
berbagai ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para
ulama mulai generasi salaf [19]
sampai abad modern sekarang ini.
Menurut George Makdisi, sebagian
besar buku ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai masalah-masalah
yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang
kajian ilmu kalam dan filsafat hukum. Adapun masalah-masalah yang menjadi
kajian kedua bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai
yang baik dan buruk. Kedua, hubungan antara akal dan wahyu, ketiga,
kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan
dan kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab dan kewajiban di atas
kemampuan seseorang, dan yang keenam, pembebanan kewajiban hukum
berdasar hal-hal yang belum ada.[20]
Sebagai perintis, al-Syafi’i menurut
Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan filsafat hukum, yaitu adakah setiap perbuatan pada dasarnya dipandang
boleh jika tidak ada larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada
dasarnya dilarang, jika tidak ada kebolehan yang mengecualikan. Schacht
menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat kuat pada hukum
positif.[21]
Sehubungan
dengan hal tersebut berikut penulis kutip agak
panjang tulisan Amin Abdullah ketika memulai pembahasannya mengenai islamic
studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:[22]
Several contemporary Muslim thinkers, including the late
Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi
Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the
academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam
(Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its
implications for the perspectives and social institutions within Islamic life,
is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the
challenges and demands posed by modern life, especially in matters connected to
hudud, human rights, public law, women, environment and views about
non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been
opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains
`ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam
still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open.
Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and
social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on
or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and
19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology,
philosophy and so on.
[terjemahannya kira-kira] Beberapa pemikir muslim
kontemporer, sebut saja diantaranya Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad
Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot
secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya paradigma
keilmuan fikih. Fikih dan Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata
sosial dalam Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap
tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait
dengan persoalan-persoalan hudud, hak-hak asasi manusia, hukum publik, wanita,
lingkungan dan pandangan non muslim. Meskipun ijtihad telah dibuka-- banyak
juga yang berpendapat bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah ditutup--
tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu
fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yang selalu
terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi pada tatanan
pranata sosial dalam masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri
untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada
abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan
seterusnya.
Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan
sinyalemen dari seorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El
Fadl.[23] Khaled menyatakan bahwa sebenarnya
sudah sejak abad ke-2H/8M telah muncul pemegang otoritas yang sangat hebat dan
luar biasa kuatnya untuk menjadi pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para
khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibentuk,
disajikan, dan dihadirkan oleh sekelompok profesional tertentu yang dikenal
dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:
It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of
the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus
that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But
itu is only after the development of juristic corps ad the development of a
technical legal culture with its specialized language symbols, and structures
that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the
fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly
and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the
representatives of Islamic law, the jurists of Islam![24]
[terjemahannya kira-kira] Adalah benar untuk dikatakan
bahwa sejak masa awal Islam, contoh-contoh yang diberikan Nabi dan para
Sahabatnya dan juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an telah membentuk dasal-dasar
yang akhirnya melahirkan budaya hukum Islam yang spesifik. Namun, setelah
berkembangnya kitab-kitab fikih dan budaya hukum yang bersifat teknis dengan
bahasa, simbol, dan struktur yang khusus, hukum Islam menjadi wakil dari sebuah
institusi yang mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud
secara tegas dan kokoh dalam konsep hukum Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!
C.
Rekonstruksi Metodologis:
Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi
dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas berbagai space kosong yang
belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam
terminologi Arkoun, space kosong itu bisa masuk kategori yang belum
terfikirkan (not yet thought) atau bisa juga masuk wilayah yang tak
terfikirkan (unthinkable) pada masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul
fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika dengan problem kekinian
dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi kalau hasil kinerja ushul fikih
bersifat lokal dan temporal. Yang justru tidak bisa dinalar adalah ketika ada
klaim yang menyatakan sebaliknya. Ushul fikih adalah rumusan yang final dan
sempurna. Dua kata (final dan sempurna) yang dalam dunia keilmuan dikenal
sebagai penyakit atau virus yang mematikan. Final dan sempurna tidak akan
pernah melekat dan menempel pada sesuatu yang tidak sempurna. Final dan
sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia
dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yang
lahir darinya tidak akan pernah sampai pada tingkat final dan sempurna ilā
yaūm al-qiyāmah karena Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan
makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.
Sebelum
menuju pada pembahasan rekonstruksi metodologis dengan pendekatan
integratif-interkonektif, menarik untuk kembali mengutip tulisan Amin Abdullah
sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen
Agama sebagai pemegang ujung tombak keilmuan di kampus dalam menganalisa dan
memahami asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori
yang digunakan oleh bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah,
islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada wilayah praksis
sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:
Quite frankly I am
personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious
Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN
(the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for
Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic
colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue
very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum
al-Din) that are very detailed, but in isolation without really
understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that
scientific construct or their implications between the epistemological systems
of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach
in order to develop them further. We also must test their ability to connect
basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as
well as the epistemology of one scientific discipline with those of another
scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.[25]
[Terjemahannya
kira-kira] Terus terang saya pribadi agak ragu apakah semua dosen yang
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau
pada lembaga pembelajaran Islam di seluruh dunia muslim memahami dengan baik
persoalan yang amat fundamental.
Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies
(Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja sudah sangat mendetail, tetapi
terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami asumsi-asumsi dasar dan
kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi
dan konsewensinya pada wilayah praksis
sosial-keagamaan. Apalagi, sampai mampu melakukan perbandingan antara berbagai
sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap
bangunan keilmuan yang biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih jauh.
Belum lagi kemampuan menghubungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma,
metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan
disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakwrawala analisis
keilmuan.
Keraguan Amin di atas
bisa difahami mengingat pola relasi keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single
entity. Faham ini mengklaim bahwa bangunan keilmuan yang dimiliki diyakini
sebagai yang bisa menyelesaikan seluruh problem kemanusiaan. Self
sufficiency ini menyebabkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness)
yang berakibat pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir
yang demikian sebagai cerminan dari arogansi intelektual dan ini dalam konteks
ajaran agama sudah masuk dalam kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya
ilmu.
Para ilmuan pendukung
budaya keilmuan yang bersumber pada teks (hadlārah al-nash) tidak
menyadari dan tidak mau peduli bahwa di luar entitas keilmuan mereka, ada
entitas keilmuan lain yang bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris
sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas problem kemanusiaan (hadlārah
al-‘ilm) seperti social sciences, natural sciences dan humanities.
Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah
al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak
berdiri sendiri karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait
dengan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai contoh, membutuhkan
dukungan biologi dan laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid,
begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi
dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian juga dengan tafsir,
hadis, kalam dan lainnya. Begitu sebaliknya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk
kategori ‘sekuler’ juga membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan di
dalamnya.
Jadi sudah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri
sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh
sebagai yang tunggal (single entity). Tingkat peradaban kemanusiaan saat
ini yang ditandai dengan semakin melesatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi
informasi, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling
berangkulan dan bertegur sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi
atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan
integrasi-interkoneksi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan proses integrasi,
maka dengan menggunakan pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya.[26] Hal ini
guna menghindari dari teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic
studies) dari komunitas keilmuan global seperti yang disinyalir oleh Ebrahim Moosa, ketika memberikan kata pengantar buku Fazlur
Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, sebagai
berikut: [27]
Having raised the
question of international relations, politics, and economics, that does not
mean that scholars of religion must become economists or political scientists.
However, the study of religion will suffer if its insights do not take
cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on
the performance of religion and vice-versa.
[Terjemahannya
kira-kira] Setelah mengungkap berbagai persolan hubungan internasional,
politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan dan ahli-ahli agama (termasuk
di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga menjadi ahli ekonomi atau
politik. Namun, demikian studi agama
akan mengalami kesulitan berat-untuk tidak menyebutnya menderita jika
pandangan-pandangan tidak menyadari dan berkembang dalam politik, ekonomi, dan
budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu juga
sebaliknya.
D.
Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula
ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk dari ushul fikih
yang telah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan
ushul fikih yang telah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan
pada dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada wilayah mujtahid,
penulis setuju dengan 5 prasyarat yang ditentukan oleh Khaled, yaitu:
- Kejujuran (honesty)
- Kesungguhan (diligence)
- Mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness)
- Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness)
- Kontrol dan kendali diri (self restraint).[28]
Namun kelima persyaratan yang ditawarkan
oleh Khaled tersebut, terlebih untuk konteks saat ini masih rentan untuk
dilanggar bila tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yang benar
dari mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi
agama dan politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan
revolusi dan liberasi.[29]
Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung dan panggung dialog
terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran
serta pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya untuk
lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu
ditambahkan satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid harus:
6. Berada di luar
kepentingan politik praktis (independent)
Sementara pada
ranah metodologis berbagai bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi,
penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi dan
interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yang
melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari
originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) jelas-jelas
membutuhkan bantuan keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika,
filologi, linguistik dan epistemologi. Sementara pada proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) dan tarjih
(mencari pilihan yang terbaik dan rasional) peran dan bantuan dari sosiologi,
antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu kemanusiaan
lainnya memegang andil yang signifikan.
Satu
hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yang perlu segera
dilakukan redefinisi, yaitu tentang definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim
bisa dipastikan kalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud.
Namun pasca wafatnya Rasulullah nalar kita sepertinya susah menerima kebenaran
statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai dari sahabat hingga hari
kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa
teks.[30]
Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan dan pemahaman setiap orang akan
sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan berbeda (untuk tidak dibilang pasti),
dan keduanya absah (mushawwibah) meski tetap harus menanggung resiko (mukhatti`ah)
atas hasil bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu
benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah hingga makalah ini
dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak bisa dipersamakan dan
apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang
sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh sebab itu,
al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal
ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun
yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan
Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya),
FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yang mereka
hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak bisa lagi
mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat tidak mempunyai kewajiban yang mengikat
untuk percaya dan mematuhi hasil ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa
berdosa untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik
yang dihasilkan mereka, karena hasil ijtihad mereka tidak bersifat absolut
benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad,
tapi tidak bagi yang tidak meyakininya.
E.
Ikhtitam
Demikian
ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis
tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa
menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat
dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang
akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan
rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya
meski ada rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi
penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil
kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon
maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.
Grya Gaten, 30 Maret 2007
Daftar pustaka
Abd
Hamid Abu Sulaiman, Towards an Islamic Theory of International Relations:
New Direction for Methodology and Thought (Herndon-Virginia: IIIT,
1415/1993)
Ebrahim
Moosa, “Introduction” dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (Oxford:
Oneworld Publication, 2000)
George
Makdisi, Religion, Law and Learning in Classical Islam (Hampshire:
Variorum, 1991).
---------------------, “The Juridical Theology, Origin and
Significance of Ushul Fikih” dalam Studi Islamika nomor 59 tahun 1984.
Hassan
Hanafi, Dirasat Islamiyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo, t.t).
Ibrahim
Hosen, “Memecahkan Persoalan Hukum Baru” dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), Ijtihad
dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988)
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law,
(Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic
Thought, 1945)
Joseph Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: Clarendon Press, 1979).
Khaled
Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women
(Oxford:
Oneworld Publications, 2003).
Mahmud
Arif, “Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan
Implikasinya di Indonesia” Disertasi tidak diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2006).
M. Abid al-Jabiri, al-Turath wa al-Hadathah; Dirasat wa
Munaqashat (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).
---------------------,
Bunyah al-Aql al-Araby: Dirāasah Tahliliyah Naqdiyah li al-Nudzūm
al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-Arabiyah, 1990).
M.
Amin Abdullah, “Kata Pengantar” pada Islamic Studies di Perguruan
Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006)
-----------------,
Islamic Studies, Humanities and Social Sciences: An Integrated-Interconected
Perspective, makalah dalam diskusi CRCS-UGM-MYIA di Gedung Pasca UGM pada
18 Desember 2006.
Muhammed
Arkoun, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li
al-Fikr al-Islami (Tt: Dar al-Saqi, 1999).
----------------,
Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: PMI-Pustaka Pelajar,
1996).
---------------,
Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, alih
bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994).
Nasr
Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz
al-Thaqafi al-Arabi, cet. V, 2000).
Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah
Dalam Fikih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam” dalam Budy Munawar
Rahman, KontekstualisasaiDoktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995)
Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, cet. 9 (Beirut: Dār
al-‘Ilm li al-Malāyin, 1977)
-----------------, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh,
cet. 9 (Beirut:Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977)
Tim
Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha’ (Kediri: Madrasah ”Hidayatul Mubtadi-ien”,
1997)
Riwayat Hidup
Nama :
Shofiyullah Mz., M.Ag
Tmp., tgl lahir : Bangkalan, 28 Mei 1971
NIP :
150299964
Pangkat/Gol : Lektor/III C
Unit Kerja : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
AlamatRumah : Jl. Manggis 62A Rt.06/28 Gaten CC Depok Sleman
Tlp./Hp : 08122716894
Riwayat
Penelitian :
1.
Pemikiran Hukum Prof. Ibrahim Hosen, bersama Drs.H. Muhadi,
Lc., M.Ag., UII Yogyakarta,
2002.
2.
Gerakan Muhammadiyah di tengah Pluralitas Islam Yogyakarta,
Kelompok, Depag RI, 2005-2006
3.
Interaksi antara Islam dan Budaya Jawa dalam Organisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta, Kelompok, Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2005
Riwayat Pelatihan/Kursus:
1. Pelatihan
Penelitian bagi Tenaga Edukatif, Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 2001
2. Gender
Awareness Training (GAT), PSW IAIN Sunan
Kalijaga, 2002
3. Daurah
al-Lughah al-Arabiyah lil Mudarrisin, UIN Sunan Kalijaga, 2005
4. Short
English Course, Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, 2005
Karya Terjemahan:
1.
Panduan Moral Bagi Anak Bangsa (Idhotun Nasyi`in)
karya Mustofa al-Gholayini) (Yogyakarta:Aziziah,
Januari 2004)
2.
Fiqh Minoritas (Nahw Fiqh Jadid lil Aqalliat) karya
Jamaluddin Athiyah, (Bandung:
Pustaka Cendekia, 2006)
Karya Buku:
1.
99 Kyai Pesantren Riwayat, Karya dan Perjuangan (I-II);
bersama dengan KH.Abd. Aziz Masyhuri (Yogyakarta:
Kutub, 2006)
2.
“Quo Vadis Kebebasan Beragama?” dalam Kebebasan (Jogja:BEM
AF-Pilar Media, 2006)
3.
Memandang Ulama Secara Rasional (Yogykarta: Kutub, 2006).
[1]
Imran
Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research
Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1.
[2]Nurcholis
Madjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fikih dan Masalah Stagnasi Pemikiran
Hukum Islam” dalam Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 313..
[3]Menurut Nurcholis Madjid yang
menjadi ciri umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap
perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi
utama masyarakat ialah ketenangan dan ketentraman. Agaknya dambaan mereka
tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan.
Sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka “beli” dengan menutup dan mengekang
kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama doktrin taklid dan tertutupnya
ijtihad. Nurcholish Madjid, Ibid.
[5]Ibrahim Hosen, “Memecahkan Persoalan
Hukum Baru” dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), Ijtihad dalam Sorotan
(Bandung: Mizan, 1988), hal. 40-41.
[7]Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah
(Kairo: Maktabah al-Anjilo, t.t), hal. 107.
[8]M. Abid al-Jabiri, al-Turath
wa al-Hadathah; Dirasat wa Munaqashat (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi, 1991), hal. 15.
[9] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirāasah Tahliliyah Naqdiyah
li al-Nudzūm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-Arabiyah, 1990), hal. 14
[11]Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum
al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, cet. V, 2000), hal. 9.
[12]Mahmud Arif, “Epistemologi
Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di
Indonesia” Disertasi tidak diterbitkan (Yogyakarta:
PPs UIN Sunan Kalijaga, 2006).
[13]
Ibid.
[14]Abd Hamid Abu Sulaiman, Towards
an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and
Thought (Herndon-Virginia: IIIT, 1415/1993), hal. 87-88.
[15]Muhammed Arkoun, Pemikiran
Arab, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: PMI-Pustaka Pelajar, 1996), hal.
71.
[16]George Makdisi, Religion, Law
and Learning in Classical Islam (Hampshire: Variorum, 1991), hal. 44.
[17]Terutama
ketika berbicara tentang kaidah-kaidah bahasa. Lihat S}ubhi al-S}alih, Mabah}is} fi ‘Ulu>m al-Qur’an, cet. 9
(Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977), hal. 299-312 dan; al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s} wa
Mus}t}ala>huh, cet. 9 (Beirut:Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977), hal.
113-114.
[18] Muhammad Arkoun, Nalar Islami
dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, alih bahasa Rahayu S.
Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 52.
[19]Generasi umat Islam pada umumnya
dibagi menjadi empat generasi, yaitu: (1) Al-salaf, yaitu para ulama
yang hidup sampai pada akhir abad III H yang terdiri dari generasi Sahabat,
Tabi‘in dan Tabi‘ at-Tabi‘in; (2) al-khalaf, yaitu para ulama yang hidup
pasca abad III H; (3) al-mutaqaddimun atau al-ashab, yaitu ulama
yang hidup pada abad IV H. Sebagai
cirikhas generasi yang ketiga ini adalah memiliki kemampuan menggali hukum
dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan para imam mazhab, seperti al-Gazali dan
al-Qaffal. Tetapi ulama generasi ini juga ada yang berijtihad tanpa menggunakan
kaidah-kaidah tersebut, seperti al-Muzani dan Ibn Saur. Dan (4) al-mutaakhkhirun,
yaitu ulama yang hidup pasca abad IV H. Lihat Tim Penyusun, Mengenal Istilah
dan Rumus Fuqaha’ (Kediri:
Madrasah ”Hidayatul Mubtadi-ien”, 1997), hal. 6
[20] George Makdisi, “The Juridical
Theology, Origin and Significance of Ushul Fikih” dalam Studi Islamika
nomor 59 tahun 1984, hal. 16.
[21] Joseph Schacht, The Origin of
Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1979), hal. 134.
[22]M. Amin Abdullah, Islamic
Studies, Humanities and Social Sciences: An Integrated-Interconected
Perspective, makalah dalam diskusi CRCS-UGM-MYIA di Gedung Pasca UGM pada
18 Desember 2006, hal. 3.
[23] Khaled Medhat Abou El Fadl
adalah seorang Profesor hukum Islam pada UCLA School of Law, USA, kelahiran
Kuwait pada 1963 dari kedua orang tua berasal dari Mesir. Ia besar di Mesir
kemudian hijrah dan menetap di Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai anak yang
cerdas. Usia 12 tahun sudah hafal al-Qur`an. Semasa kecil selain aktif
mengikuti kelas al-Qur`an dan Syariah di masjid Al-Azhar dia juga melahap habis
semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara. Dia juga tekun
belajar kepada para syaikh, diantaranya Muhammad al-Ghazali (w.1995). Dalam
pengakuannya ia sempat menjadi pengikut setia faham puritan Wahabi semasa di
Mesir. Bayang-bayang puritanisme tetap melekat pada dirinya hingga dia
menyelesaikan Barchelor of Artnya dengan yudicium cum laude di Yale University
pada 1986. kemudian dia melanjutkan studinya ke University of Pennsylvania yang
diselesaikan pada 1989 sebagai peserta terbaik dalam Jessup Moot Court
Competition yang kemudian melanjutkan studi doktornya pada Princeton
University yang diselesaikan pada tahun 1999 dengan yudicium sangat memuaskan
dengan disertasinya, The Rebellion and Violence in Islamic Law
dinobatkan sebagai karya terbaik dalam jajaran karya-karya hukum. Dengan
background yang demikian wajar kemudian dia dikenal sangat piawai dalam
memadukan penguasaannya yang mendalam akan nilai-nilai dan tradisi Islam klasik
dengan ilmu dan tradisi Barat Modern. Namanya melambung pasca tragedi 11
September lewat artikelnya yang berjudul “What Became Tolerance in Islam?”. Dia
sangat produktif dalam menulis, diantara karyanya yang cukup menghebohkan adalah
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld
Publications, 2003).
[24] Khaled Abou El Fadl, Speaking…,
hal. 12
[25]Amin Abdullah, Islamic Studies…,
hal. 8.
[26]Amin Abdullah, “Kata Pengantar”
pada Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. vii.
[27]Ebrahim Moosa, “Introduction”
dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford:
Oneworld Publication, 2000), hal. 28. Bandingkan Amin Abdullah, Islamic
Studies…, hal. 13.
[28]Khaled, Speaking…, hal.
54-56
[29]Muhammed Arkoun, al-Fikr
al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami
(Tt: Dar al-Saqi, 1999), hal. 14.
[30]Yang hanya memuat 114 surat dengan maksimal 6666
ayat plus Kutub at-Tis`ah (yang tidak lebih dari 100 ribu hadits tanpa tikrar
dan syawahid).
0 Response to "Ushul Fikih Integratif-Humanis"